Syafruddin PKB Sebut Kaltim Rawan Bencana Ekologis, 1.700 Lubang Tambang Belum Direklamasi

Sekaltim.co – Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKB Syafruddin menegaskan peringatan keras terkait kondisi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) daerah pemilihannya yang dinilai berada dalam situasi sangat rawan bencana ekologis.
Syafruddin PKB sebutkan bahwa Kaltim berpotensi mengalami bencana besar seperti yang pernah melanda Aceh dan Sumatera.
“Kaltim sangat rawan terjadi bencana seperti di Aceh dan Sumatera. Kenapa? Karena ada sekitar 1.700 lubang tambang yang belum direklamasi,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XII dengan Menteri Lingkungan Hidup di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu 3 Desember 2025.
Ia mengungkapkan kekhawatirannya atas buruknya pengelolaan pascatambang, yang telah merenggut **nyawa 51 anak** akibat tercebur ke lubang tambang yang tidak ditutup. Menurutnya, hal tersebut menjadi bukti lemahnya pengawasan dan tanggung jawab perusahaan tambang.
“Ada banyak perusahaan tambang di Kaltim. Mereka menggunduli hutan, mencemari sungai dan sumber air,” tegasnya.
Kaltim dikenal sebagai basis operasi berbagai perusahaan tambang besar. Syafruddin menyinggung sejumlah perusahaan seperti PT KPC, Berau Coal, Indominco, PT Bayan, PT IITM Group, hingga Kideco yang dinilai membuka kawasan hutan secara masif dan menimbulkan tekanan berat pada ekosistem.
“Perusahaan-perusahaan tambang terus-menerus menggunduli hutan dan tentu saja mencemari sungai dan air di sana,” katanya menambahkan.
Melihat kondisi tersebut, ia mendesak pemerintah untuk memperketat proses perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Syafruddin menegaskan bahwa izin harus hanya diberikan kepada perusahaan yang memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian lingkungan.
“Jika ada perusahaan yang mengajukan izin Amdal, tolong diperketat. Jangan sampai ada lagi perusahaan yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan masyarakat,” tutur Ketua DPW PKB Kaltim itu.
Syafruddin dari PKB berharap pemerintah bersama kementerian terkait memperkuat mekanisme pengawasan, memastikan proses reklamasi dijalankan, serta mengantisipasi potensi bencana ekologis yang dapat mengancam keselamatan masyarakat di masa mendatang. “Sudah menelan korban, ada 51 anak yang meninggal di lubang tambang. Itu baru korban yang meninggal di lubang tambang, belum yang akibat bencana seperti di Pulau Sumatera,” ungkapnya. (*)









