Peringatan 28 Tahun Kudatuli, Antara Tuntutan Keadilan dan Memori Kolektif Bangsa
Samarinda, SEKALTIM.CO – Tepat 28 tahun setelah peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal sebagai Kudatuli, Indonesia kembali diingatkan akan salah satu lembaran hitam dalam sejarah demokrasi bangsa.
Aksi Kamisan Kaltim di Samarinda dan tuntutan PDI Perjuangan (PDIP) di Jakarta menjadi sorotan, menggaungkan kembali seruan keadilan yang belum terwujud selama hampir tiga dekade dengan peringatan Kudatuli.
Di jalanan Samarinda, tepatnya di Jalan Gajah Mada, sekelompok aktivis Aksi Kamisan Kaltim menggelar aksi damai pada Kamis 25 Juli 2024.
Spanduk bertuliskan “28 Tahun Kudatuli Jokowi Mana Peduli” menjadi pusat perhatian, mengkritisi sikap pemerintah yang dinilai abai terhadap penuntasan kasus ini.
Para aktivis, sebagian memegang payung hitam sebagai simbol duka dan perlawanan, berdiri tegak di tepi jalan raya, menarik perhatian publik akan isu yang sempat terlupakan ini.
Melalui akun Instagram resmi mereka, Aksi Kamisan Kaltim mempertajam kritik dengan caption “28 Tahun dan Rezim Pura-Pura Tuli.”
Pesan ini menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap pemerintah yang dianggap tidak responsif dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini.
Sementara itu, di Jakarta, PDI Perjuangan (PDIP) mengambil langkah lebih jauh dengan mengajukan tuntutan formal kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP, dalam pernyataannya di kantor Komnas HAM pada Jumat, 26 Juli 2024, menegaskan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 harus ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
“Serangan tersebut merupakan kebijakan intervensi politik negara yang mendorong massa pro Suryadi dengan bantuan aparat negara untuk merebut kantor DPP PDI yang dikuasai oleh kubu pro Mega yang masih sah,” tegas Djarot, menggambarkan kronologi peristiwa yang terjadi di Jalan Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat.
Djarot merinci temuan Komnas HAM yang mencatat 149 orang luka-luka, 9 orang tewas, dan 23 orang hilang akibat penyerangan tersebut.
Sementara Amnesty International melaporkan angka yang lebih tinggi: 206 hingga 241 orang ditangkap, 90 orang luka-luka, dan 5-7 orang tewas.
Djarot mengklasifikasikan Kudatuli sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang melanggar enam aspek HAM berat: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan dari rasa takut, kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan perlindungan atas harta benda.
“Oleh karena itu, kami mendesak Komnas HAM untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Pro Mega di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta Pusat pada tanggal 27 juli 1996 ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan menjadi tanggung jawab pemerintah,” tegas Djarot, mewakili keluarga korban dan penyintas peristiwa Kudatuli.
Tuntutan PDIP ini bukan sekadar upaya pencarian keadilan bagi korban dan keluarga, tetapi juga seruan untuk menjaga memori kolektif bangsa.
Djarot menekankan pentingnya bangsa Indonesia untuk tidak melupakan peristiwa kelam ini, yang bukan hanya menyerang PDIP tetapi juga demokrasi di Tanah Air.
“Saya berharap ini bukan hanya persoalan partai PDI saja, ini persoalan bangsa Indonesia dan hendaknya bangsa Indonesia tidak akan pernah lupa atas kasus penyerangan kantor partai yang sah di rezim Orba, sehingga tidak akan lagi terjadi pelanggaran,” pungkasnya.
Peringatan 28 tahun Kudatuli ini menjadi momen refleksi bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, ia mengingatkan kita akan perjuangan panjang demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini.
Di sisi lain, ia juga menjadi cermin bagi pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk terus berkomitmen dalam penegakan keadilan dan penghormatan terhadap HAM.
Terlepas dari dinamika politik yang terus berubah, Kudatuli tetap menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar catatan kelam masa lalu, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga demokrasi dan menghormati hak asasi manusia.
Dengan terus mengingat dan belajar dari peristiwa Kudatuli, diharapkan Indonesia dapat terus melangkah maju sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (*)