Dhaka, Sekaltim.co – Suasana mencekam menyelimuti ibu kota Bangladesh, Dhaka, saat ribuan mahasiswa dan warga memadati Shahbag Square. Teriakan lantang menggema di udara, menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina. Demonstrasi yang awalnya bermula dari protes terhadap sistem kuota PNS yang dianggap diskriminatif, kini telah berubah menjadi gelombang protes masif yang mengguncang stabilitas politik negara berpenduduk 170 juta jiwa ini.
Sejak awal Juli 2024, Bangladesh telah dilanda aksi demonstrasi yang semakin membesar. Awalnya, para mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes kebijakan kuota PNS yang dinilai tidak adil. Namun, seiring berjalannya waktu, tuntutan mereka meluas hingga mendesak Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang telah berkuasa selama 15 tahun, untuk segera mengundurkan diri.
“Tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat menghentikan revolusi yang waktunya telah tiba!” teriak salah seorang demonstran di tengah kerumunan massa. Semangat revolusi terasa begitu kental, terutama di kalangan Generasi Z Bangladesh yang kini menduduki berbagai titik penting di ibukota, termasuk Istana Kepresidenan.
Situasi semakin memanas ketika pada tanggal 15 Juli, lebih dari 200 mahasiswa terluka akibat serangan yang dilakukan oleh Liga Chatra, sayap pemuda dari partai pemerintah yang berkuasa. Insiden ini menjadi titik balik yang mengubah arah demonstrasi menjadi lebih radikal dan berujung pada kekerasan.
Menanggapi eskalasi protes, pihak kepolisian mengambil tindakan represif dengan menggerebek sejumlah universitas dan menembaki para demonstran. Penggunaan gas air mata, granat suara, peluru karet, hingga senapan mewarnai aksi penertiban yang dilakukan aparat. Bahkan, unit anti-terorisme Bangladesh, Batalyon Aksi Cepat (RAB), ikut diturunkan dan tak segan-segan menabrakkan kendaraannya ke arah massa.
Pemerintah Bangladesh juga menerapkan pemadaman internet selama lima hari untuk memutus komunikasi antar demonstran. Kebijakan ini berdampak luas, tidak hanya memutus akses informasi, tetapi juga mengganggu pasokan listrik, gas, dan layanan perbankan bagi warga.
Situasi semakin memburuk pada tanggal 24 Juli, ketika polisi mulai melakukan penggerebekan di seluruh negeri untuk menangkap para demonstran. Lebih dari 10.000 orang ditahan, termasuk anak di bawah umur. Laporan mengenai penyiksaan dan penculikan tanpa jejak pun mulai bermunculan, menambah kecaman terhadap pemerintah Sheikh Hasina.
Puncaknya terjadi pada tanggal 5 Agustus 2024, ketika kerusuhan brutal pecah di berbagai wilayah Bangladesh. Setidaknya 90 orang dilaporkan tewas dalam insiden tersebut, meskipun sumber lain menyebutkan angka korban jiwa bisa mencapai lebih dari 100 orang. Kekerasan yang terjadi hari itu membuat total korban tewas sejak awal demonstrasi menembus angka 300 jiwa.
Di tengah situasi yang semakin tidak terkendali, Perdana Menteri Sheikh Hasina akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Kabar pengunduran dirinya tersebar cepat melalui media lokal dan internasional. Al Jazeera, mengutip keterangan seorang ajudan, melaporkan bahwa Hasina langsung meninggalkan Bangladesh menuju negara lain menggunakan helikopter militer.
Panglima Angkatan Darat Bangladesh, Jenderal Waker-Us-Zaman, dalam pidatonya yang disiarkan televisi nasional, mengonfirmasi bahwa Hasina telah meninggalkan negara dan akan segera dibentuk pemerintahan sementara. “Negara ini telah banyak menderita, ekonomi terpukul, banyak orang terbunuh — sudah saatnya kekerasan dihentikan,” ujar Jenderal Waker-Us-Zaman.
Menyusul pengumuman tersebut, ribuan warga menyerbu kompleks istana kepresidenan. Mereka melambaikan tangan ke arah kamera sembari merayakan kemenangan. Beberapa di antaranya terlihat menjarah perabotan dan buku, sementara yang lain menghancurkan patung Sheikh Mujibur Rahman, ayah Sheikh Hasina yang juga merupakan pahlawan kemerdekaan Bangladesh. Sejumlah video kerusuhan di Bangladesh pun viral di media sosial.
Michael Kugelman, direktur South Asia Institute di Wilson Center, Washington, memperingatkan bahwa kepergian Hasina akan meninggalkan kekosongan besar dalam pemerintahan Bangladesh. “Jika transisi berjalan damai, dengan pemerintahan sementara yang mengambil alih hingga pemilihan umum diselenggarakan, maka risiko instabilitas akan rendah. Namun jika terjadi transisi yang penuh kekerasan atau periode ketidakpastian, hal itu dapat menimbulkan risiko lebih lanjut berupa ketidakstabilan dan masalah di dalam dan luar negeri,” tuturnya.
Sementara itu, putra Hasina, Sajeeb Wazed Joy yang tinggal di Amerika Serikat, melalui unggahan di Facebook mendesak pasukan keamanan untuk memblokir pengambilalihan kekuasaan oleh pihak yang tidak dipilih secara demokratis. “Artinya, jangan biarkan pemerintah yang tidak dipilih berkuasa semenit pun, itu tugas Anda,” tulisnya.
Gelombang demonstrasi dan pengunduran diri Sheikh Hasina menandai babak baru dalam sejarah politik Bangladesh. Negara yang memperoleh kemerdekaan dari Pakistan pada tahun 1971 setelah perang berdarah selama 9 bulan ini kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas dan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Ke depan, Bangladesh akan menghadapi periode transisi yang krusial. Pembentukan pemerintahan sementara dan persiapan menuju pemilihan umum yang demokratis menjadi agenda utama yang harus segera direalisasikan. Dunia internasional pun akan mengawasi dengan seksama perkembangan situasi di negara Asia Selatan ini, mengingat posisi strategis Bangladesh dalam konstelasi geopolitik kawasan. (*)