Semua Daerah Pengolah Migas Nikmati DBH Berkat Rudy Mas’ud
SEKALTIM.CO – Kota Bontang, yang terletak di Kalimantan Timur (Kaltim), telah lama dikenal sebagai salah satu kota penghasil gas bumi terbesar di Indonesia. Tak hanya itu, kota ini juga menjadi pusat industri pengolahan gas alam yang memainkan peran penting dalam perekonomian nasional.
Di kota ini, ada dua perusahaan besar yang beroperasi di sektor energi, yakni PT Badak NGL dan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT). PT Badak NGL adalah perusahaan pengolahan gas alam cair (LNG) terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di dunia.
Sementara itu, PT PKT juga memanfaatkan gas bumi sebagai bahan baku utama dalam produksi pupuk urea. Perusahaan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri, tetapi juga mengekspor produknya ke berbagai negara.
Kombinasi ini menjadikan Bontang sebagai kota yang sangat bergantung pada industri gas bumi. Melihat peluang tersebut, berbagai kebijakan pun terus menerus dilakukan untuk pengembangan industri gas bumi di daerah.
Salah satunya, melalui revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang memungkinkan Bontang sebagai daerah pengolah gas bumi dan gas alam cair untuk menerima Dana Bagi Hasil (DBH).
Hal tersebut sempat diungkit Neni Moerniaeni, salah satu tokoh masyarakat di Kota Bontang. Menurutnya, UU ini memberikan kesempatan bagi daerah pengolah migas, seperti Bontang, untuk menerima DBH sebesar 1 persen.
Saat menjabat sebagai anggota DPR RI kata Neni Moerniaeni, ia melihat sebuah peluang untuk memperjuangkan hak daerah pengolah migas agar mendapatkan porsi DBH yang layak.
“Kita ingin Kota Bontang dapat porsi 5 persen sebagai daerah pengolah migas,” kata dia.
Lantas, siapa yang mendukung perjuangan ini di Senayan?
Rudy Mas’ud, anggota DPR RI, menjadi sosok pertama yang dengan tegas mendukung revisi UU tersebut. Baginya, penting bagi pemerintah pusat untuk mengakui peran penting daerah pengolah migas dalam rantai produksi energi nasional. Dukungan Rudy Mas’ud ini menjadi titik balik dalam perjuangan panjang tersebut.
Setelah melalui berbagai proses legislasi yang berliku, akhirnya pada 1 Januari 2022, revisi UU Nomor 33 tahun 2004 resmi diberlakukan. Hasilnya, daerah pengolah migas seperti Kota Bontang kini berhak mendapatkan 1 persen dari DBH migas.
Dampaknya begitu nyata. Kini, APBD Kota Bontang yang sebelumnya di bawah kisaran Rp1 triliun, setelah pengesahan kebijakan itu, justru melonjak drastis hingga mencapai Rp2 triliun.
“Makanya, saat ini tidur-tidur pun wali kotanya masih bisa menikmati perjuangan dari dana perimbangan migas Bontang, ya dapat Rp2 triliun. Itu sebabnya, APBD sekarang bisa meningkat.”
Bayangkan saja, bagaimana sebuah kota yang sebelumnya tidak mendapat haknya sebagai daerah pengolah migas kini bisa berleha-leha memanfaatkan pendapatan yang jauh lebih besar untuk pembangunan daerah.
Semua ini tidak lepas dari kerja keras Neni Moerniaeni dan dukungan Rudy Mas’ud yang konsisten memperjuangkan hak daerah. Saat ini, bukan hanya Bontang yang kena imbasnya, namun daerah-daerah penghasil dan pengolah migas juga mendapatkan cipratan hasil dari perjuangan Rudy Mas’ud di Senayan.
Enggan Mengumbar Perjuangannya di Media
Rudy Mas’ud mengonfirmasi kebenaran itu ketika ditemui awak media di Palm Meeting Room, Hotel Royal Park, Kota Samarinda. Kata dia, perjuangan untuk terlibat langsung dalam amandemen Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Minerba baru, tentu tidaklah mudah.
“Walau perjuangannya memang panjang, alhamdulillah bisa bermanfaat, bukan hanya untuk daerah pengolah gas di Kaltim. Tetapi seluruh Indonesia dapat menikmati manfaat yang dihasilkan dari kebijakan tersebut,” jelas Rudy Mas’ud.
Dari situ, dia menyadari betapa pentingnya memperjuangkan keadilan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam, termasuk Kaltim, daerah asalnya. Meski tidak semua provinsi memiliki sumber daya alam, Rudy tetap percaya bahwa dengan pengelolaan yang baik, setiap daerah dapat merasakan manfaat ekonomi dari hasil bumi.
Sebagai contoh, ia pun menyebutkan daerah Gresik yang meskipun tidak memiliki tambang emas, tetap dapat menikmati manfaat dari mengolah emas yang didatangkan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI).
Kaltim juga demikian, kata Rudy Mas’ud, tanah kelahirannya ini, Benua Etam, melakukan hal serupa. Gas datang dari mana saja, ada yang dari Kutai Kartanegara, Selat Makassar dan lainnya. Lalu, gas itu masuk ke Kota Bontang untuk kemudian diolah menjadi pupuk.
“Alhamdulillah disitulah Bontang menerima DBH pengolahan, bukan dana bagi hasilnya, tapi dana pengolahan. Saya bersyukur itu bisa dinikmati warga Bontang, yang tadinya APBD dibawah Rp1 triliun, hari ini bisa mencapai hingga Rp3,3 triliun,” bebernya.
Pria kelahiran Balikpapan ini benar-benar tak pernah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang harus dipublikasikan secara besar-besaran. Menurutnya, perjuangan ini adalah bagian dari amal jariyah, sebuah bentuk dari ibadah politik yang dilakukannya dengan tulus untuk kebaikan masyarakat.
“Itu tak pernah diekspos dan disampaikan. Menurut kami, ini adalah bagian daripada amal jariyah. Sedangkan politik ini kami jadikan sebagai ladang amal ibadah,” tegas Rudy Mas’ud. Baginya, waktu yang hanya bisa menjawab dan menunjukkan seberapa besar dampak dari perjuangannya.
Perjuangan Rudy Mas’ud adalah contoh nyata bahwa ketekunan dan keikhlasan itu dapat menghasilkan perubahan besar bagi bangsa. Tanpa lelah, ia terus memperjuangkan hak daerah-daerah pengolah migas agar mereka bisa merasakan manfaatnya.