Komunitas Jurnalis Bontang Tolak RUU Penyiaran

Bontang, SEKALTIM.CO – Rencana revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran mendapatkan sorotan dan penolakan dari sejumlah jurnalis di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Komunitas lintas media di Bontang yang terdiri dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bontang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, dan Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Kalimantan Timur menyelenggarakan diskusi bertajuk “Bagaimana Pers Dibungkam dengan RUU Penyiaran? Wartawan Daerah Bisa Apa?”.

Kegiatan yang digelar di sebuah kafe di Jalan Pattimura ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Direktur PKTV Bontang Teguh Suharjono, Pemred Kitamudamedia.com Kartika Anwar, dan Pemred Pranala.co Suriadi Said. Dalam diskusi ini, mereka mengkritisi sejumlah pasal dalam draf revisi UU Penyiaran yang dinilai bakal mengganggu kerja-kerja jurnalistik, membatasi kebebasan pers, dan menyensor pemberitaan kritis.

Teguh Suharjono menyoroti pasal yang mengatur bahwa konten yang disiarkan di platform digital harus diatur dan diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ia menilai pasal ini membuat kewenangan KPI menjadi terlalu luas dan berpotensi mengancam kebebasan berekspresi warga, termasuk para pembuat konten (content creator).

“KPI tidak selalu murni mewakili penyiaran. Ada keterkaitan antara KPI dan Komisi I DPR RI yang tak terkait dengan penyiaran, yang teman-teman sebenarnya bisa maknai sendiri relasi seperti apa itu,” ujar Teguh.

Sementara itu, Kartika Anwar mengkritisi pasal yang melarang penayangan jurnalisme investigasi hingga konten yang dianggap mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurutnya, pasal ini mengancam demokrasi karena membatasi ruang bagi jurnalis dan warga untuk mengawasi kerja pemerintah.

“Kalau jurnalisme investigasi dilarang, bukan cuma jurnalis saja yang dirugikan, tapi juga warga. Karena keberadaan pasal ini membatasi ruang bagi warga, jurnalis untuk mengawasi kerja pemerintah,” kata Tika.

Adapun Suriadi Said menyoroti pasal yang membuat kewenangan KPI dan Dewan Pers tumpang tindih dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. Ia menilai hal ini justru akan menurunkan kualitas jurnalisme di Indonesia dan bertentangan dengan semangat UU Pers yang menjamin kebebasan pers.

“RUU Penyiaran yang saat ini berproses di DPR layak ditolak,” tegas Ketua PWI Bontang ini.

Dalam sesi tanya jawab, banyak peserta yang menyampaikan kekhawatiran akan dampak negatif RUU Penyiaran terhadap kebebasan berekspresi warga. Salah satunya Redaktur KlikKaltim.com, Ikhwal, yang mengusulkan agar pengusul RUU ini mendapat sanksi moral dari warga.

“Ini, kan produk politik. Jadi mestinya warga bisa kompak, ramai-ramai beri sanksi moral ke pengusul. Biar kapok,” tegasnya.

Di akhir diskusi, gabungan jurnalis ini mengambil sikap bersama dengan menolak draf RUU Penyiaran yang tidak melibatkan komunitas pers dan masyarakat sipil. Mereka mengusulkan agar pembahasan RUU ini ditunda atau dibatalkan serta menyerukan kepada komunitas pers untuk mengawalnya.

Ada lima poin sikap bersama, yakni:
1. Menolak draf RUU Penyiaran yang tidak melibatkan komunitas pers dan masyarakat sipil;
2. Mengusulkan menunda atau membatalkan pembahasan draft RUU Penyiaran;
3. Menyerukan kepada komunitas pers untuk mengawal draf RUU Penyiaran;
4. Menyerukan kepada wartawan atau media menolak draf RUU Penyiaran
5. Membuat hasil yang disampaikan ke DPRD Bontang.

Pembahasan draft RUU Penyiaran ini muncul usai Pemilu Serentak 2024 dan pada saat masa transisi akhir pemerintahan Presiden joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kepada pemimpin Indonesia yang baru terpilih.

Polemik seputar revisi UU Penyiaran ini menarik untuk terus dipantau perkembangannya. Semua pihak berharap agar UU yang baru nantinya dapat memberikan payung hukum yang jelas dan tegas bagi dunia penyiaran di Indonesia, sekaligus menjamin kebebasan pers dan kemajuan demokrasi.
(*)

Exit mobile version