
Jakarta, Sekaltim.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus korupsi besar yang melibatkan proyek fiktif pejabat PT PP perusahaan pelat merah. Dua mantan pejabat PT Pembangunan Perumahan (PT PP) ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan pengadaan proyek fiktif di Divisi Engineering, Procurement, and Construction (EPC).
Penetapan tersangka proyek fiktif PT PP ini diumumkan langsung oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Selasa 25 November 2025, disiarkan live di kanal Youtube KPK RI.
Asep menjelaskan bahwa kedua tersangka, yaitu DM selaku mantan Senior Vice President (SVP) Head of EPC Division PT PP dan HN selaku mantan Senior Manager Keuangan Divisi EPC, langsung ditahan. Penahanan dilakukan sejak 25 November hingga 18 Desember 2025 di Rumah Tahanan KPK.
“KPK menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka atas nama DM selaku mantan SVP Head of EPC Division PT PP dan HN selaku mantan Manajer Keuangan Senior Manager Divisi EPC PT PP,” kata Asep dalam konferensi pers, Senin malam 25 November 2025.
Sebelum penetapan tersangka diumumkan, KPK telah memeriksa tiga pegawai PT PP sebagai saksi pada Jumat, 21 November 2025. Mereka adalah Moch Ichsan, pegawai PT PP; PM Proyek SGAR Tahun 2023; serta SAM Proyek SGAR Tahun 2023. Seluruh pemeriksaan berlangsung di Gedung KPK, Jakarta, sebagai bagian dari pengumpulan keterangan dan penyusunan konstruksi perkara yang sedang ditangani penyidik.
Asep menegaskan bahwa perkara yang menyeret dua mantan pejabat PT PP tersebut diduga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp80 miliar pada rentang tahun anggaran 2022 hingga 2023.
Modus yang digunakan para pelaku diduga melibatkan praktik subkontraktor fiktif di lingkungan PT PP, yang disusun melalui penyalahgunaan identitas pegawai harian lepas.
Dalam modus tersebut, identitas pekerja harian seperti pegawai administrasi hingga office boy dicatut dan dipalsukan sebagai tenaga kerja subkontraktor.
Para tersangka diduga menyusun dokumen pekerjaan yang seolah-olah menggambarkan keberadaan subkontraktor dan pelaksanaan proyek, padahal kegiatan tersebut tidak pernah ada.
Ada subkon-subkon fiktif yang dikerjakan di lingkup PT PP, di antaranya menggunakan nama-nama pegawai harian lepas termasuk office boy.
“Dokumen tersebut dilengkapi seolah-olah pekerjanya ada. Itulah pentingnya turun ke bawah dilakukan pengecekan,” kata Asep dalam keterangannya.
Sebelumnya, kasus ini semakin menguat setelah berbagai pemeriksaan, penelusuran dokumen, serta evaluasi teknis yang dilakukan penyidik.
KPK melakukan penyidikan tidak berhenti pada dua tersangka awal. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, sangat terbuka kemungkinan adanya tersangka baru dalam pengembangan kasus korupsi ini.
KPK pertama kali membuka penyidikan perkara tersebut pada 9 Desember 2024. Sejumlah langkah cepat pun langsung diambil.
Pada 11 Desember 2024, KPK mengeluarkan surat pencekalan terhadap dua orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu DM dan HNN, agar tidak bepergian ke luar negeri. Langkah tersebut diambil untuk memastikan proses penegakan hukum tidak terhambat.
Tidak lama setelahnya, pada 20 Desember 2024, KPK mengumumkan telah menetapkan dua orang sebagai tersangka berdasarkan hasil audit dan penghitungan sementara yang menunjukkan adanya indikasi kerugian negara mencapai Rp80 miliar.
Penyidikan kembali mengerucut pada 16 Oktober 2025, ketika KPK mengungkap bahwa modus utama dalam kasus ini adalah penyalahgunaan identitas pegawai harian lepas untuk pencairan pengadaan fiktif.
Penyidik KPK kini terus memperdalam aliran dana, peran masing-masing pelaku, serta identifikasi pihak-pihak lain yang mungkin terlibat dalam pemberian persetujuan maupun pencairan anggaran.
Asep menegaskan KPK akan menyelesaikan kasus ini dengan profesional dan transparan demi memberikan kepastian hukum. Ia memastikan bahwa lembaga antirasuah tidak akan ragu menjerat pihak lain apabila keterlibatannya dapat dibuktikan secara sah.
Dengan semakin jelasnya konstruksi perkara, KPK berharap penindakan ini dapat menjadi peringatan bagi seluruh pejabat BUMN untuk tidak menyalahgunakan jabatan dan anggaran publik.
Kasus proyek fiktif di PT PP ini menegaskan korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mengancam tata kelola perusahaan dan integritas sektor konstruksi nasional. Terutama di tengah keterbatasan anggaran dengan sejumlah program pemerintah seperti MBG. (*)









