Masyarakat Adat Kunci Penjaga Alam, BRWA-Ford Foundation Kolaborasi Akui Wilayah Adatnya
Sumatera Utara, SEKALTIM.CO – Pada peringatan Hari Bumi, peran masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga alam kembali disorot. Sayangnya, sebagai pelindung hutan dan keanekaragaman hayati, belum semua mendapat pengakuan dasar atas wilayah adatnya. Oleh karena itu, Ford Foundation sebagai lembaga filantropi yang berfokus pada keadilan iklim, konsisten mendukung Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dalam proses registrasi untuk memitigasi penyusutan area 82 juta hektare hutan di Indonesia.
Salah satu program yang diimplementasikan adalah registrasi wilayah adat seluas 186 ribu hektar di Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan. “Sejak 2010 hingga Maret 2024, BRWA telah berhasil meregistrasi 28,2 juta hektar wilayah adat, di mana 72% di antaranya merupakan ekosistem penting yang harus dijaga seperti mangrove, karst, koridor satwa, dan kawasan kunci biodiversitas,” ungkap Kasmita Widodo, Kepala BRWA.
Widodo menambahkan, kerja sama dengan Ford Foundation dan pihak lain diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian perlindungan hutan teregistrasi, terverifikasi, dan tersertifikasi di Tapanuli Utara dan Luwu Utara. Semakin besar wilayah adat yang teregistrasi dan diakui, maka area keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan yang terjaga akan semakin luas.
“Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat adat dan komunitas lokal telah menerapkan tata kelola pelestarian dan konservasi alam yang berlandaskan kearifan lokal. Upaya ini terbukti efektif dalam praktik pengelolaan sumber daya sekaligus melindungi alam dan keanekaragamannya,” paparnya.
Lebih lanjut, Widodo memaparkan penerapan kearifan lokal pada wilayah adat mencakup area tanah, hutan, dan perairan beserta isinya. Ini dilakukan berdasarkan tata kelola hukum adat, pengelolaan wilayah perairan, larangan penggunaan alat tangkap merusak, serta rotasi tanam dan diversifikasi tanaman di lahan untuk pemulihan unsur hara.
“Peringatan Hari Bumi dapat menjadi momen bagi semua pihak untuk terus mendukung upaya pengakuan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Dengan demikian, peran mereka sebagai penjaga bumi melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam sesuai tradisi dan budaya dapat berlanjut,” imbuhnya.
Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation Indonesia memandang peringatan Hari Bumi sebagai tonggak untuk kembali memastikan pentingnya menjaga alam, salah satunya untuk mencegah bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. “Kerja sama kami dengan BRWA di kedua kabupaten diharapkan dapat melindungi dampak perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan longsor, seperti yang terjadi di Tapanuli Utara pada Desember 2023 dan Luwu Utara menjelang Idulfitri April 2024,” ujarnya.
Alex menyatakan, upaya pemberian akses memadai bagi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mengelola wilayah adat perlu terus didukung semua pihak. Melalui pengakuan atas kesetaraan dan keadilan, ia berharap program Ford Foundation dan mitra implementer seperti BRWA dapat berkontribusi dalam mitigasi krisis iklim yang mendesak.
Kerja Kolaboratif Hasilkan Kebijakan Berkeadilan
Implementasi program BRWA yang didukung Ford Foundation selama enam bulan terakhir juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, akademisi, media, pihak swasta hingga masyarakat terlibat dalam berbagai aksi nyata.
Sejumlah kegiatan dilakukan untuk mendukung pengakuan wilayah adat seperti persiapan dokumen verifikasi, lokakarya pemangku kepentingan, serta rapat koordinasi Ditjen Bangda Kemendagri, Direktorat PSKL Kemen LHK, dan Ditjen PSKL.
Kerja kolaboratif ini mampu mengatasi berbagai tantangan selama proses administrasi dan registrasi, khususnya di Tapanuli Utara. Heber Tambunan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup setempat mengakui sinergi semua pihak mengatasi keterbatasan waktu, pendanaan, kapasitas, serta pemenuhan informasi bagi komunitas adat.
“Bupati dan jajaran Pemerintah Daerah Tapanuli Utara sangat memperhatikan pengakuan wilayah adat yang menjadi tempat hidup dan aktivitas ekonomi masyarakat. Sayangnya, area ini kerap masuk kawasan hutan. Karena itu, kami terus memperjuangkan hak-hak mereka agar wilayah adat yang dikelola turun-temurun tetap dalam kedaulatan mereka,” tutur Heber.
Kepedulian itu dituangkan dalam SK Bupati tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk 10 komunitas. Dalam bentuk pendanaan, APBD Tapanuli Utara juga menganggarkan lebih dari Rp200 juta untuk proses pemenuhan hak masyarakat adat di 6 wilayah.
Keberhasilan BRWA dalam verifikasi hingga penetapan wilayah adat tak lepas dari praktik baik di lapangan. Di antaranya kolaborasi mencakup kepemimpinan pemerintah pusat-daerah dalam menjalankan regulasi, alokasi anggaran daerah, serta prosedur menggunakan pendekatan per kabupaten sehingga setiap kegiatan berjalan paralel.
“Sebagai lembaga registrasi wilayah adat, BRWA yang didukung Ford Foundation mengapresiasi komitmen Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dan Luwu Utara. Harapannya, dengan menegaskan hak wilayah adat akan memotivasi masyarakat memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal. Semoga pembelajaran di kedua daerah ini menjadi praktik baik untuk diduplikasi di tempat lain dengan menyesuaikan keunikan masing-masing wilayah adat,” pungkas Widodo. (*)