pameran Long Ears di Belanda

  • Long Ears Through the Lens, Merayakan Keunikan Budaya Kuping Panjang Dayak yang Langka di Belanda

    SEKALTIM.CO – Apa itu kuping panjang? Merasa asing dengan tradisi unik dari suku Dayak ini kan? Yup, kuping panjang atau telinga panjang adalah praktik kuno masyarakat Dayak di Kalimantan. Tradisi ini melambangkan kecantikan dan status sosial bagi kaum wanita dengan cara memperpanjang cuping telinga mereka. Hanya ada 40 wanita Dayak dengan Long Ears yang tersisa.

    Nah, tradisi langka ini tengah disorot dalam acara “Long Ears Through the Lens” yang digelar di Belanda pada 31 Mei hingga 10 Juni 2024. Acara yang digagas untuk mengeksplorasi budaya dan warisan kuping panjang lewat pameran etno-fotografi, pertunjukan budaya, pemutaran film, hingga diskusi budaya dan identitas ini sudah disiapkan dengan matang oleh para inisiatornya.

    “Long Ears Through the Lens merupakan kegiatan yang digagas untuk mengeksplorasi tradisi Kuping Panjang Dayak Kalimantan melalui Pameran Etno-fotografi karya Ati Bachtiar, Pertunjukan Budaya, Pemutaran film singkat dan Dialog Budaya dan Identitas, yang diselenggarakan di Belanda dari 31 Mei-10 Juni 2024. Kegiatan Kuping Panjang mengundang masyarakat Belanda dan diaspora Indonesia di Belanda untuk merayakan budaya dan warisan berharga,” demikian keterangan tertulis Tim Long Ears Through the Lens.

    Beberapa lokasi agendanya antara lain, Dierenpark Taman Indonesia, Kallenkote 8 – 9 Juni 2024, KBRI Indonesia, Den Haag 6 Juni 2024, dan Museum Sophiahof, Den Haag 31 May – 30 Juni 2024.

    Seruan Pembukaan di Museum Sophiahof

    Pada pembukaan acara di Museum Sophiahof, Den Haag pada 31 Mei 2024 lalu, suasana sarat akan kekhidmatan adat masyarakat Dayak. Lemalu atau nyanyian kidung adat Dayak Bahau membuka acara yang dipersembahkan oleh Yeq Lawing, salah seorang dari generasi terakhir penjaga tradisi kuping panjang. Dentingan sape dari Uyau Moris dan tarian Enggang, Mandau, serta Hudoq dari para penari tradisional turut memeriahkan pembukaan.

    Ini merupakan momen bersejarah bagi kami untuk merayakan dan mewariskan tradisi kuping panjang yang sudah hampir punah ini kepada generasi muda dan dunia.

    Selain pertunjukan budaya, acara ini juga dimeriahkan dengan diskusi mendalam bertema “History of Long Ears & Decolonization” yang menghadirkan Profesor Diana Suhadirman dan Peter Witkamp sebagai pembicara.

    Misi Kebudayaan Kuping Panjang

    Hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi, Yeq Lawing, yang membagikan pengalamannya sebagai seorang perempuan tangguh penjaga budaya kuping panjang yang bangga akan tradisi hampir punahnya itu.

    Kuping Panjang memang menjadi ciri khas utama dari beberapa sub-suku Dayak di Kalimantan seperti Bahau, Kayan, dan Kenyah. Proses memperpanjang cuping telinga ini dilakukan secara bertahap sejak wanita masih remaja dengan menggunakan lempeng khusus yang semakin diperbesar ukurannya seiring waktu.

    Penjaga dan Pelestari Alam

    Selain menceritakan detail tradisi kuping panjang, diskusi yang diikuti generasi muda penerus Dayak seperti Uyau Moris, Ding Hibau, dan Belai Djandam juga memaparkan peran penting kaum wanita Dayak sebagai pemimpin dan pembimbing spiritual di komunitasnya.

    Tidak hanya penjaga warisan budaya, mereka berperan besar dalam melestarikan alam dan mengajarkan kepada generasi muda untuk hidup selaras dengan alam Kalimantan. Kehidupan yang berkelanjutan dengan hutan hujan tropis Kalimantan dan keanekaragaman hayatinya menjadi kunci dari karakter wanita-wanita Dayak.

    Kegiatan ini juga memberikan pemahaman betapa pentingnya mewariskan nilai-nilai tradisional kepada generasi penerus sebagai upaya menjaga kelestarian budaya dan lingkungan hidup Kalimantan.

    Dekolonisasi dan Lintas Generasi dalam Diskusi

    Tak hanya mengangkat keunikan serta nilai filosofis budaya Dayak, momen diskusi budaya dan identitas ini juga mengaitkannya dengan isu dekolonisasi yang terjalin dalam sejarah. Hubungan kompleks antara masyarakat Dayak dan Belanda sejak masa kolonial turut disoroti untuk menelusuri pengaruh budaya dari kedua belah pihak.

    Di sisi lain, diskusi bertema lintas generasi menyoroti urgensi menanamkan identitas adat kepada generasi muda Dayak agar tradisi leluhur tidak punah ditelan zaman. Hadir di sini pula narasumber dari 3 generasi berbeda: nenek Yeq Lawing, Ati Bachtiar, Yani Saloh, hingga para aktivis dan kreator muda Dayak.

    Diskusi ini dinilai penting untuk menumbuhkan rasa bangga dan kesadaran bahwa tradisi bukanlah masa lalu, tetapi masa depan yang harus diwariskan dan dikembangkan.

    Ati Bachtiar dan Jejaknya Mengabadikan Kuping Panjang

    Tidak hanya melalui dialog, acara ini juga menghadirkan pameran etno-fotografi yang mengabadikan keunikan kuping panjang dalam karya Ati Bachtiar. Potret-potret indah yang dihasilkan membawa kita menjelajah berbagai sudut kehidupan dan sosok-sosok bertelinga panjang di pedalaman Kalimantan.

    Setiap foto yang diabadikan adalah momen yang dijalani bersama masyarakat kuping panjang. Ini bukan sekadar gambar, melainkan ungkapan rasa sayang kepada mereka dan upaya menghargai tradisi yang bertahan hingga saat ini.

    Film dan Pertunjukan

    Puncak kemeriahan acara semakin terasa dengan pemutaran film dokumenter berjudul “Hudoq: Descent of the Deities” yang disutradarai Ding Hibau. Film ini mengisahkan ritual suci Hudoq dalam prosesi menyambut musim tanam padi masyarakat Dayak Bahau. Penonton dapat menyaksikan prosesi ritual lengkap, ditambah penjelasan dari para tetua adat.

    Selain film, pertunjukan budaya seperti tari Hudoq langsung dipersembahkan di atas panggung oleh Ding Hibau dan kawan-kawan penarinya. Masyarakat Belanda dan diaspora Indonesia di Belanda yang hadir tampak terpukau dengan kemolekan gerakan tari yang khas dan dilengkapi dengan busana penuh makna.

    Apresiasi Antar Budaya dan Kerja Sama

    Melalui rangkaian acara yang berlangsung hingga 10 Juni 2024 tersebut, tampak bahwa saling menghargai dan menghormati antarbudaya menjadi ruh utama penyelenggaraannya.

    Acara dibuka oleh Yvonne van Genugten, Director of the Indies Commemoration Centre, Freddy M Panggabean, wakil Duta Besar Indonesia untuk Belanda dan Yani Saloh, penggagas dan Ketua Panitia.

    Kolaborasi dan kerja sama besar memang terlibat dalam penyelenggaraan acara “Long Ears Through the Lens” ini. Selain Indisch Herrinneringscentrum dan KBRI Den Haag, pihak lain seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pertamina Hulu Mahakam, PT ANTAM, dan Canon Data Script turut mendukung sebagai sponsor utama.

    Dalam sebuah testimoni, Pj Gubernur Kaltim, Akmal Malik, menyampaikan apresiasi dan rasa bangga sebesar-besarnya kepada tim budaya Kuping Panjang yang telah berkontribusi dan mendukung serta mempromosikan kebudayaan yang ada di Provinsi Kalimantan Timur.

    Tradisi kuping panjang, menurut Akmal Malik, bukan hanya sekadar warisan lelulhur. Budaya ini juga merupakan identitas keragaman budaya Indonesia.

    “Tim budaya Kuping Panjang telah berhasil mengangkat dan mengenalkan keunikan budaya kita di pentas internasional,” kata Akmal Malik. (*)

Back to top button