Sekaltim.co – Di tengah derasnya arus modernisasi yang melanda Kalimantan, sebuah film berjudul “Tale of the Land” hadir membawa kisah yang menggetarkan hati.
Film garapan sutradara muda berbakat, Loeloe Hendra Komara, ini menjadi sorotan di Festival Film Internasional Busan (BIFF) ke-29 yang digelar pada 2-11 Oktober 2024.
Dengan menghadirkan potret kehidupan masyarakat adat yang terjepit di antara tradisi dan perubahan, “Tale of the Land” tidak hanya menjadi sebuah tontonan, tetapi juga cermin yang memantulkan realitas pahit yang sering luput dari perhatian publik.
Kisah May: Alegori Perjuangan Masyarakat Adat
Film ini mengisahkan perjalanan hidup May, seorang gadis Kalimantan kekinian yang diperankan dengan apik oleh Shenina Cinnamon.
May menjadi saksi bisu pembunuhan kedua orang tuanya dalam sebuah konflik tanah yang berdarah. Trauma mendalam yang dialaminya membuat May mengalami sindrom aneh: ia selalu jatuh pingsan setiap kali kakinya menyentuh daratan.
Kondisi ini memaksa May untuk tinggal di sebuah rumah terapung bersama kakeknya, Tuha (diperankan oleh Arswendy Beningswara), jauh dari hiruk-pikuk kehidupan di darat yang telah merenggut segalanya dari dirinya.
“Karakter May merupakan sebuah alegori yang merefleksikan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia, di mana tanah air mereka berubah karena tekanan dunia modern,” ungkap Loeloe Hendra dalam sebuah wawancara.
Pernyataan ini menegaskan bahwa “Tale of the Land” bukan sekadar film fiksi, melainkan representasi dari realitas yang dialami banyak komunitas adat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia dan Kalimantan pada umumnya.
Kalimantan: Tanah yang Diperas
Latar belakang Kalimantan yang dipilih sebagai setting film ini bukanlah tanpa alasan. Pulau yang kaya akan sumber daya alam ini telah lama menjadi rebutan berbagai kepentingan.
Pembukaan lahan untuk pertambangan, perkebunan, dan berbagai proyek pembangunan lainnya seringkali berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka.
Dalam salah satu adegan pada triller, diperlihatkan seorang pria tua berdiri di atas sampan, menyaksikan tongkang pengangkut batubara melintas di hadapannya.
Adegan ini menjadi metafora yang kuat tentang bagaimana kekayaan alam dari tanah kelahiran mereka diangkut ke tempat yang jauh, sementara penduduk asli hanya bisa menjadi penonton.
“Sejak etam bediam di sini, Darat selalu membawa hal buruk buat etam,” demikian petikan dialog dalam bahasa Kutai pada trailer film yang diunggah di akun Instagram KawanKawanMedia pada 1 Oktober 2024.
Dialog ini menyiratkan hubungan yang kompleks antara masyarakat adat dengan tanah mereka yang telah berubah.
Proses Pembuatan yang Menantang
Proses syuting “Tale of the Land” sendiri merupakan tantangan tersendiri bagi kru film. Seluruh adegan dilakukan di atas air, menjadikannya pengalaman unik bagi para pemain dan kru.
Syuting yang dilakukan pada Januari 2024 ini membutuhkan persiapan dan eksekusi yang matang untuk menghadirkan visual yang memukau sekaligus autentik.
Selain Shenina Cinnamon dan Arswendy Beningswara, film ini juga dibintangi oleh sederet aktor berbakat seperti Angga Yunanda, Yusuf Mahardika, dan Bagus Ade Saputra.
Kehadiran para aktor ini diharapkan dapat membawa cerita May dan komunitasnya lebih dekat ke hati penonton.
Debut yang Menjanjikan di Panggung Internasional
Keikutsertaan “Tale of the Land” dalam program New Currents di BIFF 2024 menjadi debut yang menjanjikan bagi Loeloe Hendra Komara sebagai sutradara film panjang.
Film ini tidak hanya akan ditayangkan perdana (world premiere) di festival bergengsi tersebut, tetapi juga berkompetisi dengan karya-karya terbaik dari seluruh dunia.
Dalam pernyataannya di kanal YouTube BIFF pada 4 Oktober 2024, Loeloe mengungkapkan, “Saya sangat senang film panjang pertama saya bisa menjadi bagian dari festival ini. Film ini sangat istimewa bagi saya karena ini adalah film panjang pertama saya, dan saya menulis ceritanya bertahun-tahun yang lalu. Film ini berasal dari kegelisahan saya ketika melihat dampak penambangan batubara di suatu daerah. Saya bertanya-tanya apakah daerah itu masih layak huni. Apakah mungkin bagi manusia untuk hidup di atas air?”
Harapan untuk Masa Depan
Dengan jadwal pemutaran yang telah ditetapkan (4 Oktober pukul 16:00-17:39, 5 Oktober pukul 10:00-11:39, dan 9 Oktober pukul 10:00-11:39), “Tale of the Land” siap membawa penontonnya dalam perjalanan emosional yang mendalam.
Film ini diharapkan tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata dunia terhadap realitas yang dihadapi masyarakat adat di tengah arus pembangunan yang tak terbendung.
Kehadiran “Tale of the Land” di panggung internasional juga menjadi momentum penting bagi perfilman Indonesia.
Film Tale of The Land menunjukkan bahwa sinema Indonesia mampu mengangkat isu-isu lokal dengan cara yang universal, menjembatani kesenjangan pemahaman antara budaya dan menciptakan empati lintas batas.
Melalui kisah May dan komunitasnya, “Tale of the Land” mengajak kita semua untuk merefleksikan kembali makna pembangunan dan kemajuan.
Apakah kita siap mengorbankan warisan budaya dan kelestarian lingkungan demi sebuah modernitas yang kadang tak berpihak pada yang lemah?
Film Tale of The Land mungkin tidak menawarkan jawaban, tetapi ia membuka ruang diskusi yang sangat diperlukan di tengah masyarakat kita yang terus berubah.
Ketika layar berakhir dan lampu bioskop kembali menyala, “Tale of the Land” akan tetap membekas dalam benak penontonnya, mengingatkan kita semua bahwa di balik gemerlap pembangunan, ada kisah-kisah manusia yang terlupakan, menanti untuk didengar dan diperjuangkan. (*)