Wacana Pencabutan Sengketa Batas Wilayah Kota Bontang dan Kutai Timur di MK

Jakarta, Sekaltim.co – Dalam perkembangan terbaru sengketa batas wilayah antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Ketua MK Suhartoyo menyinggung adanya wacana untuk pencabutan permohonan yang mencuat dalam persidangan.

Kuasa hukum para Pemohon, Heru Widodo mengatakan, saat selesai sidang terakhir di Mahkamah, Wali Kota Bontang selaku Pemohon I mendapatkan surat perintah dari Mendagri untuk mencabut permohonan ke MK ini.

Beberapa hari kemudian, pada 6 Agustus 2024, Wali Kota Bontang bersurat kepada tim kuasa hukumnya untuk segera melakukan pencabutan permohonan.

Namun, kata Heru, pihaknya akan melakukan pencabutan apabila diajukan bersama-sama dengan pimpinan DPRD yaitu Ketua serta Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II sebagai Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV.

Sebab, ketika mengajukan permohonan ini pun, para Pemohon memutuskan untuk mengajukan permohonan ke MK dalam rapat paripurna DPRD Kota Bontang dan Wali Kota Bontang.

“Dalam hal ini kami konfirmasi ke pimpinan DPRD, salah satunya ada di sini Pak Agus Haris Pemohon IV DPRD Kota Bontang tidak mendapatkan surat yang sama seperti itu untuk mencabut, sehingga sampai dengan hari ini belum melakukan paripurna Yang Mulia,” kata Heru.

MK menggelar sidang pemeriksaan lanjutan untuk Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 tersebut pada Rabu, 21 Agustus 2024 yang disiarkan melalui kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI. Sidang kali ini menghadirkan pihak terkait, termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim), Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim), dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Persidangan ini berfokus pada pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Latar Belakang Sengketa

Sengketa ini bermula dari ketidakpuasan masyarakat Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, di perbatasan Kutim Bontang yang merasa pelayanan publik lebih baik jika mereka menjadi bagian dari Kota Bontang. Hal ini memicu Pemerintah Kota Bontang untuk mengajukan permohonan perubahan batas wilayah, yang kemudian berujung pada pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan Pj Gubernur Kaltim

Dalam persidangan, Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur, Akmal Malik, memberikan pernyataan penting mengenai penyelesaian sengketa batas wilayah ini. Akmal mengusulkan agar penyelesaian sengketa diserahkan kepada Pemprov Kaltim dengan memedomani Pasal 21 hingga Pasal 29 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.

“Bahwa uji materi yang dimohonkan oleh Pemohon dapat dipertimbangkan dengan penyelesaiannya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan memedomani Pasal 21 sampai dengan Pasal 29 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Namun demikian, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya,” ujar Akmal di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Akmal juga mengungkapkan bahwa pada Februari 2010, Pemprov Kaltim telah menerima surat dari Pemkab Kutai Timur yang menolak usulan perluasan Kota Bontang. Sebagai alternatif, Pemkab Kutim menawarkan kerja sama pengelolaan wilayah yang akan dibicarakan lebih lanjut antara kabupaten/kota yang bersangkutan.

Namun, pada 16 September 2021, Bupati Kutai Timur kembali mengirimkan surat kepada Gubernur Kaltim perihal tindak lanjut atas usulan perubahan batas Kabupaten Kutai Timur dengan Kota Bontang pada segmen Desa Martadinata. Surat tersebut menyebutkan bahwa tidak ditemukan dokumen, peta, keterangan, atau objek lain yang bisa dijadikan dasar untuk perubahan batas daerah antara Kabupaten Kutim dan Kota Bontang.

Kesepakatan penetapan batas wilayah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur terjadi pada tanggal 11 Mei 2005.

Upaya Pemprov Kaltim dalam Menyelesaikan Sengketa

Pemprov Kaltim sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah ini. Pada 26 Oktober 2021, Gubernur Kaltim mengirimkan surat kepada Mendagri yang mengusulkan perubahan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 tentang Penentuan Batas Wilayah Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Usulan tersebut didasarkan pada hasil kesepakatan rapat yang difasilitasi Pemprov Kaltim terkait aspirasi masyarakat Dusun Sidrap, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutim untuk bergabung dengan Kota Bontang.

Rapat yang berlangsung pada 3 Januari 2019 ini dihadiri oleh Bupati Kutim, Wali Kota Bontang, Ketua DPRD Kutim, Ketua DPRD Kota Bontang, dan Gubernur Kaltim. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa Pemkab Kutai Timur dan Pemkot Bontang akan menindaklanjuti usulan Sidrap untuk bergabung dengan Kota Bontang dengan melakukan penelitian lapangan oleh Tim Penegasan Batas Daerah (Tim PBD) Kabupaten Kutai Timur dan Tim PBD Kota Bontang. Penelitian ini didampingi oleh Tim PBD Provinsi Kalimantan Timur.

Pada 27 Juli 2023, Wali Kota Bontang dan pimpinan DPRD Bontang akhirnya mengajukan uji materi terhadap Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 ke Mahkamah Agung (MA). Namun, permohonan tersebut ditolak oleh MA pada 1 Agustus 2023 dengan Putusan Majelis Hakim Agung Nomor 33 P/HUM/2023.

Pendapat DPRD Bontang

Di sisi lain, Anggota DPRD Bontang, Agus Haris, menyatakan bahwa menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Pemprov Kaltim merupakan langkah yang kurang tepat. Menurut Agus Haris, langkah ini sudah dilakukan pada masa kepemimpinan dua gubernur sebelumnya, namun tidak menghasilkan solusi yang memadai.

Agus juga menyoroti dua kejadian penting yang tidak dibacakan oleh Pj Gubernur Kaltim dalam persidangan. Pertama, pada tahun 2011, mantan Bupati Kutim, Isran Noor, pernah menyetujui agar tujuh RT di wilayah tersebut dilayani oleh Kota Bontang. Persetujuan ini terjadi atas permohonan mantan Wali Kota Bontang, almarhum Adi Darma, namun tidak ditindaklanjuti oleh Pemprov.

Kedua, pada tahun 2018, mantan Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, juga menyetujui agar Sidrap bergabung dengan Bontang melalui pernyataan lisan dalam video telekonferensi. Namun, keputusan ini juga tidak diimplementasikan oleh Pemprov setelah Isran Noor menjadi gubernur.

“Dua persoalan penting ini tidak ditindaklanjuti oleh Pemprov. Setelah Isran Noor jadi gubernur baru ditindaklanjuti. Itu pun ditolak sepihak oleh Pemkab Kutim,” kata Agus Haris kepada wartawan, Kamis 22 Agustus 2024.

Harapan Penyelesaian Melalui Musyawarah

Dalam sidang pleno ini, Pj Gubernur Kaltim, Akmal Malik, menekankan pentingnya penyelesaian sengketa melalui musyawarah dengan melibatkan semua pihak terkait. Akmal optimis bahwa permasalahan ini dapat diselesaikan dengan pendekatan musyawarah mufakat, seperti yang diatur dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.

“Kita optimis bisa menyelesaikan permasalahan Kampung Sidrap dengan tetap merujuk pada Permendagri Nomor 141 terkait batas desa,” tegas Akmal.

Sidang pleno ini akan dilanjutkan pada 2 September 2024, dengan harapan bahwa DPRD Kota Bontang dan Bupati Kutai Timur dapat hadir untuk memberikan keterangan tambahan. Ketua MK, Suhartoyo, yang memimpin sidang ini, juga menyarankan agar Pemprov Kaltim terus berupaya mencari solusi damai dengan melibatkan semua pihak terkait.

Sementara Hakim Arief Hidayat memberikan pandangan bahwa dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, persoalan batas wilayah seharusnya tidak ada.

“Menurut pandangan saya selaku Hakim Mahkamah Konstitusi, bagi saya di konsepsi persengketaan wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebetulnya mestinya tidak ada. Karena apa? Satu daerah diletakkan di sini dan di sini bagi saya tidak ada masalah dalam konteks NKRI. Yang penting adalah kesejahteraan masyarakat pelayanan terhadap masyarakat bisa dilakukan sebaik-baiknya,” kata Arief Hidayat. (*)

Exit mobile version