Film Dokumenter Dirty Vote Jalan Panjang Kekuasaan Meraih Kemenangan Bertabur Indikasi Kecurangan

SEKALTIM.CO – Film dokumenter Dirty Vote sepanjang 1 jam 57 menit 21 detik dibintangi oleh tiga ahli hukum tata negara. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Dalam Film dokumenter Dirty Vote, ketiganya mengungkap berbagai indikasi penggunaan instrumen kekuasaan untuk tujuan memenangkan pemilu bagi calon tertentu yang dianggap merusak tatanan demokrasi.

“Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara,” demikian caption dalam film dokumenter Dirty Vote yang dirilis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Minggu 11 Februari 2024.

Film dokumenter Dirty Vote disutradarai Dandhy Laksono, seorang jurnalis sekaligus pegiat kemanusiaan yng memiliki daya jangkau jurnalisme melalui Ekspedisi Biru.

Dalam rentang dua hari, hingga Senin siang 12 Februari 2024, Film dokumenter Dirty Vote yang berdurasi 1 jam 57 menit itu mendapat perhatian publik. Dalam rentang waktu tersebut, jumlah penontonnya mencapai 3,3 juta.

Film dokumenter Dirty Vote dirilis pada saat masa tenang pasca kampanye Pemilu 2024. Di dalam Film dokumenter Dirty Vote terdapat sejumlah analisis dan fakta-fakta yang mendukung adanya dugaan indikasi kecurangan yang dilandasi penggunaan kekuasaan untuk memenangkap calon tertentu.

Menurut Zainal Arifin Mochtar, Film dokumenter Dirty Vote bisa menjadi landasan setiap yang menyimaknya sebagai landasan penghukuman.

“Jika anda nonton film ini, saya punya pesan sederhana satu tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk anda melakukan penghukuman,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam scene pembuka film Dirty Vote yang dirilis PSHK Indonesia, 11 Februari 2024.

Di lain pihak, kolega Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa “Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa sehingga Pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik
saja.”

Feri Amsari, menerangkan lebih konkret tentang upaya politisi dalam memenangkan kontestasi pemilu melalui cara-cara yang tidak memberikan penghormatan kepada publik dalam alam demokrasi.

“Selain diajak oleh figur-figur yang saya hormati, tentu saja film ini dianggap akan mampu mendidik publik betapa curangnya Pemilu kita dan bagaimana politisi telah mempermainkan publik pemilih hanya untuk memenangkan kepentingan mereka,” kata Feri Amsari.

“Kecurangan ini jangan didiamkan atas nama kelancaran Pemilu,” kata Bivitri.

“Film ini adalah monumen yang akan kita ingat bahwa kita punya peranan besar melahirkan orang yang bernama Jokowi,” ungkap Zainal, yang kerap disapa Uceng itu.

Dirty Vote Film berisi data dan fakta yang disertai analisis dari pakar tata negara. Khususnya tentang perjalanan politik Joko Widodo, kader PDI Perjuangan di akhir masa jabatannya sebagai Presiden di periode kedua atau jelang pemilu 2024.

Anak Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi Pilpres 2024 sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Gibran maju tanpa dukungan partai yang melahirkan Joko Widodo sebagai Wali Kota, Gubernur, hingga menjadi presiden, yaitu PDI Perjuangan.

Jalan panjang Gibran menuju posisi cawapres inilah yang menjadi bingkai keseluruhan cerita Film dokumenter Dirty Vote. Mengawali paparannya, Zainal Arifin Mochtar bahkan memberikan penekanan pada kedua paslon tersebut karena adanya isu pemenangan pemilu dalam satu putaran. Isu ini mengemuka karena ada asumsi kemenangan akan mudah diraih oleh paslon tertentu berkat adanya dukungan kekuasan di belakang mereka.

“Khusus pemilu presiden, pertanyaan paling menariknya untuk tahun 2024 adalah: Apakah Pemilu 2024 Presiden akan satu putaran? Kalau kita lihat angka yang ada menunjukkan bahwa memang pasangan 02 yang di situ ada anak presiden sedang memimpin dan itu barangkali yang membuat mereka sangat getol untuk berkata mereka mau satu putaran,” ungkap Zainal Arifin Mochtar.

Zainal Arifin Mochtar kemudian memberikan landskap politik Indonesia beserta aturan yang mendasari syarat kemenangan Pilpres yang menunjukkan bahwa untuk mencapai kemenangan satu putaran tidak mudah dan bisa saja meleset.

“Pertanyaannya sebenarnya adalah, apakah syarat satu putaran hanya sekadar soal 50% plus 1?” ujar Zainal Arifin Mochtar.

Melanjutkan paparan Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari memberikan gambaran dan analisis tentang rekam jejak pemilu presiden yang pernah berlangsung di Indonesia. Menurut Feri Amsari, Indonesia memiliki sejarah kemenangan pemilu presiden dalam satu putaran ketika masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono pada tahun 2009.

“Jika kita amati kemenangan satu putaran yang pernah terjadi dalam sejarah pemilu kita pasca reformasi di mana pemilu presiden 2009 memperlihatkan kemenangan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Kita bisa melihat dari peta ini warna biru ini menggambarkan kemenangan presiden dan di mana saja wilayahnya. Bayangkan luasnya. Jadi tidak mudah bagi seorang calon presiden memenangkan 50% suara dalam satu putaran. Pemilu 50% suara bukan faktor tunggal,” kata Feri.

Feri kemudian melanjutkan pembahasan kepada sisi penguasa di setiap sebaran wilayah pemilih. Feri menunjukkan bahwa semenjak 2021, Presiden Joko Widodo sudah melakukan penunjukan kepada 20 pejabat Gubernur di 20 provinsi dan 182 penjabat bupati dan wali kota.

Penunjukan para penjabat ini, menurut Feri, menunjukkan adanya dugaan maladministrasi karena tidak transparan sekaligus upaya kekuasaan memberikan pengaruh bagi daerah dan bisa menciptakan conflict of interest demi memuluskan jalan dan kepentingan kekuasaan.

Dalam konteks pemilu presiden, jika dikonversi kepada jumlah suara pemilih, Feri menyebutkan akan setara dengan 140 juta orang atau 50 % lebih pemilih.

“Seluruh wilayah ini yang terdapat penjabat Bupati walikota dan Gubernur kalau kita lihat jumlah daftar pemilih tetapnya adalah sebesar 140 juta suara yang equivalen dengan 50% lebih suara pemilih. Peran pejabat Gubernur tentu saja sangat berpengaruh,” ungkap Feri pada menit ke-19.

Tak hanya di tingkat penguasa provinsi maupun kabupaten dan kota, pengaruh dan upaya penyeragaman kepentingan kekuasaan juga terjadi hingga ke tingkat desa.

Skenario untuk memberikan pengaruh juga diduga dilakukan di lingkup aparatur negara pada tingkatan menteri, pejabat negara, dan pelaksana Pemilu itu sendiri. Puncaknya yaitu memuluskan jalan calon tertentu agar bisa masuk gelanggang kontestasi pemilu secara instan melalui Mahkamah Konstitusi.

“Tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu,” ungkap Bivitri menutup analisis bersama koleganya dalam Film dokumenter Dirty Vote. (*)

Exit mobile version