Samarinda, SEKALTIM.CO – Ekosistem karbon biru memiliki peran penting dalam mendukung kemajuan ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi sorotan dalam lokakarya bertajuk “Skema Pendanaan Berkelanjutan dan Pengelolaan Ekosistem Karbon Biru di Kalimantan Timur” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Acara ini didukung oleh Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di Samarinda, 6 Maret 2024, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, praktisi, akademisi, dan lembaga mitra pembangunan.
Dalam upaya mewujudkan Visi Kaltim Hijau, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menggagas program Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC).
Melalui pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak, GGC memiliki sejumlah inisiatif model pendanaan yang tersebar di Kalimantan Timur, salah satunya adalah Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF).
Keberhasilan implementasi FCPF-CF menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia Pasifik yang menerima kompensasi karbon berbasis kinerja dengan total 110 juta USD. Kompensasi ini memberikan manfaat bagi pembangunan daerah dan masyarakat desa.
Namun, dengan berakhirnya FCPF-CF pada 2024, perlu diantisipasi dan dirumuskan arah paska pendanaan tersebut, termasuk melihat potensi pendanaan berkelanjutan yang lebih luas, seperti dari ekosistem karbon biru.
FCPF-CF masih terfokus pada pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi serta peningkatan cadangan karbon pada hutan daratan. Oleh karena itu, peran karbon biru seperti mangrove, lamun, dan semak pasang surut perlu dimaksimalkan, karena ekosistem ini juga penting dalam penyimpanan karbon.
Kebijakan terkait pengelolaan ekosistem karbon biru tertuang dalam Strategi Nasional ke-6 RPJMN 2020-2024 melalui Perpres No. 18/2020, yaitu membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menugaskan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memformulasikan materi submisi dan mengkoordinasikan pelaksanaan aksi adaptasi dan mitigasi lingkup kelautan.
“Karbon biru merupakan ekosistem penting dalam upaya pengendalian perubahan iklim, contohnya mangrove, lamun, dan rawa payau. Selain itu, sektor kelautan juga menjadi inisiatif baru dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia,” ujar Fina Ardarini, Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Ahli Muda KKP.
Ekosistem pesisir di Indonesia, terutama mangrove, padang lamun, dan kawasan rawa payau, memiliki potensi cadangan karbon biru yang sangat besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon alami yang kapasitasnya melebihi hutan tropis daratan.
“Indonesia memiliki basis sumber daya alam dan potensi karbon biru yang sangat kaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini didukung fakta bahwa wilayah Indonesia meliputi lebih dari 60% dari total wilayah Coral Triangle dunia,” ungkap Wawan Gunawan, Kepala Sub Direktorat Dukungan Sumber Daya Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sejak tahun 2000 hingga 2017, laju deforestasi hutan di Kalimantan Timur mencapai 176.400 hektare, disebabkan oleh pengembangan perkebunan sawit, hutan tanaman, pertambangan, penebangan, pertanian, tambak, dan lainnya.
Selain itu, Kaltim juga memiliki 14 ribu titik api yang rawan kebakaran. Lahan gambut juga berpotensi sebagai penyimpan emisi dan rawan melepas emisi jika terbakar, sehingga Kaltim diurutkan di posisi ketiga nasional sebagai penyumbang emisi terbesar di tahun 2011.
“Pengelolaan ekosistem karbon biru menjadi salah satu yang penting dilakukan secara berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik. Maka dari itu, pertemuan dan diskusi seperti ini perlu dikembangkan untuk memperluas wawasan dan kebijakan, khususnya tentang karbon biru,” kata Daddy Ruhiyat, Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DPPI) Kalimantan Timur.
M. Ali Aripe, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim, menyatakan bahwa karbon biru erat kaitannya dengan konsep ekonomi biru di Kalimantan Timur yang menerapkan tiga pilar penting, yaitu ekologis, ekonomi, dan sosial.
Nilai ekonomi biru di Kaltim bersumber pada sumber daya perikanan penghasil garam, ekowisata, dan jasa lainnya. Nilai ekologis bersumber pada potensi lahan mangrove dan padang lamun.
Sementara itu, M. Subiyantoro, Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, menambahkan bahwa terdapat 5 strategi konservasi mangrove di Kaltim, yaitu penguatan kerangka kebijakan dan kelembagaan, memperkuat manajemen dan tata kelola, peningkatan peran masyarakat, penegakan hukum dalam melakukan konservasi mangrove, dan mendorong mekanisme pendanaan yang mendukung konservasi mangrove.
Pada praktiknya, upaya-upaya pengelolaan ekosistem karbon biru dapat dilakukan dengan optimal apabila terdapat skema pendanaan yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
“Total ada 13 program prioritas yang saat ini dilakukan dan bisa didanai oleh BPDLH, total dana yang dikelola sampai saat ini sebesar 1.615 miliar USD, di dalamnya termasuk dana karbon biru yang bersumber dari hibah Bank Dunia sebesar 419 juta USD untuk kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan mangrove,” jelas Lia Kartikasari, Kepala Divisi Penyaluran Dana Program BPDLH.
Joseph Hutabarat, Program Direktur PT GAIA, menyampaikan bahwa selain skema pendanaan tradisional yang berupa hibah dan pinjaman, terdapat skema pendanaan berkelanjutan yang memasukkan unsur natural capital, social capital, dan financial capital.
Menurutnya, skema pendanaan berkelanjutan banyak datang dari hibah donor, kemitraan bisnis, dan filantropi yang digunakan untuk membiayai kegiatan konservasi, kehidupan masyarakat, dan aksi pencegahan perubahan iklim seperti pasar karbon.
Mariski Nirwan, Coastal Resilience Senior Manager YKAN, mengapresiasi komitmen kerja sama berbagai pihak dalam acara ini.
“Pemahaman tentang berbagai inisiatif seputar ekosistem pesisir dan karbon biru serta skema pendanaan berkelanjutan yang ada sangat dibutuhkan untuk memetakan kebutuhan dan mendiskusikan kesesuaian skema tersebut dengan upaya-upaya konservasi yang telah berjalan,” pungkasnya. (*)