NUSANTARAWACANA

KIKA Tolak Pengesahan UU KUHAP, Ancaman Baru bagi Kebebasan Akademik?

Sekaltim.co – Penolakan para akademisi dari berbagai daerah—Jakarta, Surabaya, Lampung, Samarinda, Bogor, Aceh, Papua, hingga Yogyakarta yang tergabung dalam Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) kompak menyuarakan terhadap pengesahan oleh DPR RI terkait Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) pada 18 November 2025. Dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube KIKA disebutkan bahwa pengesahan ini merupakan ancaman serius terhadap kebebasan akademik dan hak asasi manusia.

Mereka yang mewakili pernyataan resmi KIKA antara lain Rina Mardiana dari IPB University, Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman, serta Dodi Faedlullah dari Universitas Lampung menjadi representasi KIKA. Mereka menegaskan bahwa proses legislasi UU KUHAP berlangsung tergesa-gesa dan tidak membuka ruang partisipasi publik yang memadai.

Dalam konferensi pers itu, Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, bahkan menyebut fase ini sebagai “darurat kebebasan akademik”.

Apa yang menjadi kekhawatiran utama terkait kriminalisasi akademik adalah sejumlah pasal dalam UU KUHAP membuka peluang penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum.

Satria menekankan bahwa peneliti yang mengumpulkan data sensitif terkait pelanggaran HAM, kejahatan lingkungan, hingga korupsi bisa saja diamankan atau ditahan hanya karena dianggap menghambat penyelidikan. Hal ini membuat profesi akademisi, peneliti, dan mahasiswa berada dalam posisi rentan.

Mengapa proses legislasi UU KUHAP dinilai bermasalah antara lain menurut KIKA karena pembahasan yang hanya berlangsung dua hari, 12–13 November 2025. Kecepatan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip meaningful participation yang menjadi standar Mahkamah Konstitusi. Pemerintah berdalih percepatan diperlukan untuk menyelaraskan pemberlakuan KUHP Baru Januari 2026—alasan yang menurut KIKA justru mengabaikan masukan penting masyarakat sipil.

Pasal yang dianggap paling mengancam disebut sangat berisiko, seperti:

Pasal 16: memperluas operasi terselubung tanpa pengawasan hakim.
Pasal 5, 90, 93: membuka peluang penangkapan tanpa kepastian tindak pidana.
Pasal 105, 112A, 124, 132A: memungkinkan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin hakim.
Pasal 7 dan 8: memusatkan kewenangan penyidikan pada Polri dan dikhawatirkan menciptakan police superpower.

Adapun tuntutan KIKA kepada pemerintah ada empat point.

1. Presiden diminta menghentikan pengesahan dan menarik draf UU KUHAP.
2. Pemerintah dan DPR wajib membuka ruang partisipasi bermakna.
3. Perubahan KUHAP harus memperkuat pengawasan pengadilan, bukan memperluas wewenang aparat.
4. Pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi akademisi harus dihapus atau direvisi total.

Sikap akhir KIKA antara lain menilai UU KUHAP sebagai kemunduran demokrasi. Mereka berkomitmen mengawal isu ini dan menolak setiap upaya membungkam suara kritis di ruang akademik maupun masyarakat.

“Kita berharap ya, walaupun sudah terjadi pengesahannya tapi masih ada proses di presiden untuk menerbitkan surpres (Surat Presiden) misalkan atau bahkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) jika dimungkinkan agar Undang-Undang KUHAP ini kemudian tidak dilaksanakan ya atau tidak disahkan. Yang pada 18 November ini disahkan di siang ini dan kita tentu berharap bahwa harus dirombak total dan betul-betul menjalankan partisipasi bermakna yang substansial,” kata Satria. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button