
Jakarta, Sekaltim.co – Di wilayah pesisir Kabupaten Tangerang, sebuah konstruksi kontroversial membentang seperti tembok pemisah antara daratan dan lautan berupa pagar laut.
Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang tersusun dari ratusan ribu batang bambu ini telah menghadirkan pergulatan kepentingan yang kompleks, mempertemukan antara kekuasaan, hukum, dan hak masyarakat.
Jejak konflik ini bermula sejak 2014, ketika pagar bambu pertama kali didirikan di wilayah pesisir yang membentang dari Desa Muncung hingga Tanjung Burung.
Meskipun keberadaannya telah berlangsung hampir satu dekade, baru pada awal Januari 2025 polemik ini meledak ke permukaan, menarik perhatian publik dan para pemangku kepentingan.
Mantan Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, mengonfirmasi keberadaan pagar tersebut sejak masa kepemimpinannya.
Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: siapa aktor intelektual di balik pembangunan pagar yang menghalangi akses publik ini?
Hitungan Matematis di Balik Konflik
Muhammad Aras Prabowo, akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, mengungkap kalkulasi kerugian negara yang mengejutkan.
Dalam keterangan tertulis, Sabtu 25 Januari 2025, Aras menerangkan untuk membangun pagar sepanjang 30,16 kilometer dibutuhkan sekitar 301.600 batang bambu.
Biaya pencabutan yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp1,5 miliar, dan ini baru sebatas biaya teknis pembongkaran.
“Potensi kerugian negara tidak sekadar materi,” tegas Aras, “tetapi juga menyangkut pelanggaran kewenangan dan hak publik atas wilayah pesisir.”
Pemerintah, melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), telah mengambil langkah tegas dengan membatalkan 50 sertifikat lahan terkait wilayah tersebut.
Sampai saat ini, sekitar 9 kilometer pagar telah berhasil dibongkar, menegaskan komitmen pemerintah untuk mengembalikan akses publik.
Sementara itu, Agung Sedayu Group, melalui kuasa hukumnya Muannas Alaidid, mengklaim bahwa sertifikat kepemilikan mereka sah.
Mereka berargumen bahwa lahan tersebut adalah daratan bekas abrasi yang dikelola sesuai prosedur.
Namun, klaim ini dibantah oleh masyarakat yang menilai adanya potensi pelanggaran hak akses publik.
Suara dari Gedung Parlemen
Titiek Soeharto, Ketua Komisi IV DPR, dengan tegas meminta pelaku pemasangan pagar mengganti seluruh biaya pembongkaran.
“Siapa pun yang melanggar hukum harus bertanggung jawab,” tegasnya di Gedung DPR, Senayan, kepada wartawan Kamis 23 Januari 2025.
Kasus pagar laut Tangerang ini menjadi polemik atas kompleksitas tata kelola wilayah pesisir, konflik kepentingan, dan perjuangan menegakkan hak publik atas ruang bersama.
Masyarakat dan pemerintah kini menanti proses hukum dan transparansi lebih lanjut.
Presiden ke-7 RI Joko Widodo pun turut memberikan respons terhadap isu penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pagar laut Tangerang, Banten, yang terjadi pada 2023.
Hal itu disampaikannya usai bertemu dengan Hatta Rajasa di sebuah restoran di Solo, Jawa Tengah pada Jumat 24 Januari 2025.
“Ya yang paling penting itu proses legalnya, prosesnya dilalui atau tidak, betul atau tidak betul. Itukan proses dari Kelurahan, Kecamatan, proses di kantor BPN Kabupaten, kalau untuk SHMnya. Kalau untuk SHGB juga di kementerian, di cek aja apakah proses legalnya dilalui dengan baik atau tidak,” ungkapnya. (*)