Jakarta, Sekaltim.co – Kontroversi melanda dunia seni rupa Indonesia ketika pameran tunggal perupa senior Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Jakarta batal digelar pada Kamis 19 Desember 2024.
Pembatalan pameran Yos Suprapto ini terjadi setelah kurator yang ditunjuk, Suwarno Wisetrotomo, meminta lima dari 30 lukisan untuk diturunkan beberapa jam sebelum pembukaan.
Dalam pernyataan klarifikasinya pada Jumat 20 Desember 2024, Suwarno Wisetrotomo menjelaskan bahwa pembatalan tersebut disebabkan oleh “dua karya yang menggambarkan opini seniman tentang praktik kekuasaan.”
Menurutnya, karya-karya tersebut tidak sejalan dengan tema kuratorial dan berpotensi mengaburkan fokus pesan pameran. “Dua karya tersebut ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora,” ujarnya.
Namun, Yos Suprapto memberikan penjelasan berbeda. Seniman kelahiran Surabaya 1952 ini menyatakan bahwa ada lima lukisan yang tidak lulus sensor, bukan dua seperti yang disebutkan kurator.
“Lima lukisan itu berkaitan dengan sosok yang pernah sangat populer secara nasional,” ungkapnya kepada media.
Yang mengejutkan, persiapan pameran telah dimulai sejak Oktober 2023, dan selama proses tersebut, Suwarno tidak pernah mempermasalahkan kelima lukisan tersebut.
Yos mengaku bingung dengan sikap kurator yang mendadak berubah menjelang pembukaan pameran.
Dampak dari ketegangan ini sangat terasa pada malam pembukaan. Pengunjung yang sudah hadir dilarang masuk ke area pameran, pintu dikunci, dan lampu dimatikan.
Fotografer dan pengamat seni Oscar Motulloh menyebut kejadian ini sebagai “pembredelan pameran seni rupa pertama di era Prabowo Subianto.”
“Saya rasa itu ekspresi kurator yang takut secara berlebihan,” komentar Eros Djarot, yang seharusnya membuka acara tersebut.
Sementara Yos dengan tegas menolak untuk menurunkan lukisan-lukisan yang dipermasalahkan, menyatakan bahwa hal tersebut akan merusak narasi pameran secara keseluruhan.
Sebagai bentuk protesnya, Yos memutuskan untuk membatalkan seluruh pameran dan membawa pulang semua lukisan ke Yogyakarta.
“Saya tidak mau lagi berurusan dengan Galeri Nasional dan Kementerian Kebudayaan,” tegasnya, merasa bahwa ekspresi seninya telah dibungkam oleh kepentingan politik praktis.
Pameran yang seharusnya berlangsung hingga 19 Januari 2025 ini meninggalkan pertanyaan serius tentang kebebasan berekspresi dalam dunia seni rupa Indonesia.
Meskipun Galeri Nasional telah menyampaikan permintaan maaf atas penundaan pameran, insiden ini telah memicu diskusi lebih luas tentang batasan-batasan dalam berkarya dan peran institusi seni dalam menjaga independensi seniman.
Kejadian ini juga menimbulkan keprihatinan di kalangan pegiat seni tentang masa depan kebebasan berkesenian di Indonesia, terutama terkait dengan karya-karya yang mengandung kritik sosial dan politik.
Pembatalan pameran Yos Suprapto menjadi catatan penting dalam sejarah seni rupa Indonesia kontemporer. (*)