Samarinda, SEKALTIM.CO – Kontroversi tengah mewarnai sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Pasalnya, pihak sekolah yang kemudian diketahui di SMK Negeri 3 Samarinda itu dianggap memaksa siswa untuk membeli kalender sekolah senilai Rp55 ribu per buah.
Menanggapi ramainya polemik ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Timur melalui Kepala SMK Negeri 3 Samarinda mengeluarkan klarifikasi secara terbuka pada Selasa malam, 30 Januari 2024.
Dalam klarifikasinya, Kepala SMK Negeri 3 Samarinda, Hj. Dwisari Harumingtyas menegaskan bahwa penjualan kalender merupakan upaya untuk mempromosikan prestasi sekolah dan siswa dengan cara yang dianggap efektif. Dana penjualan kalender bakal digunakan untuk kunjungan industri dan kegiatan sekolah.
Dwisari menegaskan tidak ada unsur paksaan dalam pembelian kalender ini. Ia bahkan bersedia berdialog dengan wali murid atau masyarakat yang keberatan soal kebijakan tersebut.
Dwisari juga meyakinkan, penjualan kalender sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan uji kompetensi apalagi pemberian ijazah siswa.
Sebelumnya, surat edaran soal penjualan kalender sudah dikirim ke grup wali murid dan komite sekolah. Pihaknya mengklaim tidak ada yang keberatan saat surat tersebut diedarkan. Penjualan kalender bahkan dianggap sebagai sarana melatih kemampuan marketing siswa.
“Sekali lagi saya tekankan, tidak ada unsur paksaan dalam membeli kalender sekolah apalagi sampai tidak bisa ikut uji kompetensi atau mendapatkan ijazah hanya karena tidak membeli kalender, saya pikir itu tidak masuk akal. Saya bersedia apabila wali murid atau ada masyarakat yang mau datang ke sekolah dan berdialog dengan saya mengenai isu penjualan kalender sekolah, saya akan sangat mempersilakan dan menyambutnya dengan baik” ungkap Dwisari dalam klarifikasi melalui video yang diunggah dalamakun Instagram Disdikbud Kaltim.
Sebelumnya, berdasarkan penelusuran di lapangan, banyak siswa mengaku keberatan dengan kebijakan wajib membeli kalender tersebut. Mereka menilai harga Rp55 ribu terlalu memberatkan mengingat banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi sebagai pelajar.
Salah seorang siswa inisial AK menuturkan, awalnya siswa kelas 10 hingga 12 diminta berfoto untuk kenang-kenangan. Namun, beberapa hari kemudian mereka justru diwajibkan membeli kalender sekolah sebagai bentuk dukungan pada program sekolah.
AK bersama sejumlah ketua kelas dan siswa lainnya kemudian mengajukan komplain soal kebijakan ini. Menurut mereka, memaksa siswa membeli kalender dengan dalih program promosi sekolah dinilai keterlaluan dan memberatkan orangtua.
“Awalnya kami foto buat kenang-kenangan, tapi kemudian disuruh beli kalender sebagai penunjang program sekolah,” ungkap AK, Senin 29 Januari 2024.
Protes pun merebak di media sosial. Banyak netizen yang mengecam kebijakan sekolah tersebut. Namun, penjelasan lebih lanjut dari pihak sekolah baru bisa diperoleh setelah kepala sekolah kembali dari luar kota.
Dengan adanya klarifikasi dari pihak sekolah dan pengawasan dari Disdikbud, kasus kontroversi penjualan kalender di SMKN 3 Samarinda diharapkan dapat segera selesai. Sekolah dan orang tua siswa kini bisa duduk bersama mencari solusi terbaik agar program promosi berjalan tanpa membebankan satu pihak. (*)