Maestro Frans Jiu Luay dari Kaltim dan Perjuangan Melestarikan Tari Hudoq

Jakarta, Sekaltim.co – Frans Jiu Luay, maestro Tari Hudoq dari Kalimantan Timur (Kaltim), menyuarakan pentingnya menjaga nilai etika dalam warisan budaya. Ia menyampaikan apresiasi mendalam kepada Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV (Kaltim) yang telah mendukung pelestarian seni ritual Hudoq, bukan hanya dari sisi estetika, tetapi juga etika yang melekat dalam kepercayaannya.
Frans menyampaikan hal itu saat hadir dalam kegiatan “Temu dan Bincang Maestro” di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat 11 Juli 2025. Ia menilai selama ini banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, terlalu fokus mengangkat keindahan visual tari Hudoq, namun mengabaikan nilai-nilai spiritual dan adat istiadat yang mendasarinya.
“Mengangkat estetika tanpa memikirkan etika, sama saja mengingkari warisan leluhur,” kata Frans.
Buku Hudoq dan Dukungan BPK Wilayah XIV
Melihat banyaknya kekeliruan dalam pemahaman tentang Hudoq, Frans pun berinisiatif menyusun sebuah buku yang merangkum asal-usul, nilai, dan filosofi tari suci tersebut. Awalnya, naskah buku ini diajukan ke Pemda Kutai Kartanegara, namun tidak mendapat respons memadai.
Baru setelah mengajukan proposal ke Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV, naskah itu mendapat dukungan penuh. Bersama akademisi, mahasiswa S2 dan S3, serta tokoh masyarakat, akhirnya buku tersebut berhasil disusun.
“BPK Wilayah XIV menjadi semangat baru saya untuk menyelesaikan buku ini,’ ucap Frans.
Selain menulis, ia juga memproduksi dokumenter tentang Tari Hudoq agar bisa menjadi referensi visual dan pendidikan budaya yang lebih luas. Ia berharap buku dan dokumenter ini bisa menjadi warisan penting untuk generasi muda.
Asal-Usul Mistis Tari Hudoq
Frans menceritakan, Tari Hudoq bukan sekadar tarian rakyat, melainkan bentuk komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan. Ia menjelaskan asal-usulnya berasal dari kisah mistis tentang Halaeng Heboung, anak raja yang menikah dengan makhluk gaib Selo Sen Yaeng dari dasar sungai.
Dari pernikahan itu lahirlah Buaq Selo, tokoh yang membawa ajaran tentang hubungan spiritual dan peradaban. Kisah ini hidup dalam komunitas adat Ingun dan diturunkan secara turun-temurun.
“Tari Hudoq adalah teater tanpa tutur. Setiap gerak menyampaikan kisah antara manusia dan Tuhan,” ungkap Frans.
Nilai Lingkungan dan Perdamaian dalam Hudoq
Tari Hudoq mengandung pesan tentang keselarasan hidup dengan alam. Para penari menggunakan kostum dari bahan alam seperti daun pisang dan daun palem. Ini melambangkan kehidupan yang menyatu dengan bumi dan ciptaan Tuhan.
Sebelum menari, para tetua adat melakukan ritual khusus untuk mengundang leluhur dan Tuhan agar berkenan memberkati pertunjukan.
“Tari ini bukan hiburan semata, tapi penghubung spiritual antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” jelas Frans.
Ritual Hudoq dan Makna Komponen Dupa
Dalam setiap pertunjukan Hudoq, ritual awal dilakukan sebagai bentuk permohonan izin kepada leluhur. Komponen yang digunakan dalam ritual antara lain telur ayam kampung, buah pinang, daun sirih, kapur sirih, beras, rokok klobot, dan dupa hio.
Menurut Frans, setiap bahan memiliki makna khusus. Misalnya, telur ayam kampung melambangkan kesucian, sedangkan beras menjadi simbol spiritualitas dan kemakmuran.
“Semua komponen berasal dari ketulusan hati. Ini bentuk persembahan suci kita kepada Tuhan dan leluhur,” katanya.
Evolusi Musik Pengiring Tari Hudoq
Musik pengiring Hudoq juga mengalami transformasi. Di generasi pertama digunakan alat musik tradisional sape, kemudian bergeser ke gendai dan akhirnya gendang panjang di generasi ketiga. Gendang ini memiliki panjang hingga empat meter dan kini menjadi alat utama yang digunakan.
Gendang panjang dan gendai bahkan telah dipajang di Anjungan Kalimantan Timur di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Gendai memiliki bentuk unik yang mirip harmonika, dan digunakan untuk menyambut para pahlawan pulang dari medan perang.
Sementara sape yang dahulu memiliki dua senar dari rotan kini dibuat dari kawat. Alunan musiknya mampu membawa pendengar dalam berbagai emosi, dari sukacita hingga kesedihan mendalam.
“Jika sape dimainkan di waktu subuh, dan ada duka, nadanya berubah jadi lirih dan menyayat,” ungkap Frans.
Dedikasi Seumur Hidup
Frans telah menjaga dan melestarikan Tari Hudoq sejak kecil. Ia yang lahir di Melan pada 4 April 1955, tak hanya menari, tetapi juga mengajarkan, mendokumentasikan, dan membangun narasi budaya yang utuh tentang tarian tersebut.
Dalam jejak hidupnya, Frans pernah menjabat Kasi Sejarah Purbakala, Kasi Pengkajian Budaya dan Kabid Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kubar.
Salah satu peninggalan bersejarahnya adalah topeng Hudoq dengan wajah Pen Lih—roh tertinggi dalam kepercayaan Dayak Bahau. Hanya Frans yang diperbolehkan mengenakan Hudoq Pen Lih, dan itu pun hanya untuk upacara khusus.
Kini Frans menetap di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), namun kiprahnya telah menjangkau dunia. Ia pernah memperkenalkan folklore Hudoq ke Israel dan negara-negara Eropa Barat, termasuk Perancis.
Frans menulis sejumlah buku seperti Hudoq dan Upacara Adat (2002), Profil Tari Tradisional Kutai Barat (2005), Ketika Sinar Menguak Asa (2005), Panduan Tata Cara Perkawinan Adat Modang (2006).
Buku karya Frans lainnya adalah Kidung Asa Sendawar (2006) Samarinda, Komunal Sendawar Kutai Barat (2006), Nilai-nilai Religiusitas Komunitas Kutai Barat (2008), Adat Nemlai Lung Gelaat (2009) dan Ketika Permata Berkilau Taman Mini (2009).
Buku berikutnya adalah Gemersik Mahakam menyapa (2010) Solo, Hudoq Ritual, Senandung Kehidupan, Riak Mahakam Brest Prancis (2012), Artistik dan Karakteristik Hudoq (2014).
Beberapa penghargaan kebudayaan juga diterima Frans. Antara lain, Piagam Tanda Kehormatan Presiden, Karya Republik Indonesia Satya Lancana, Piagam Penghargaan pada Panggung Budaya Nusantara Samarinda 2014, Piagam Penghargaan Maestro Tari Tradisi dari kemudian Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Pada 2022, Frans menerima penghargaan Seniman Dayak Modang dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), serta piagam Hak Cipta buku Artistik, Karakteristik dan Hudoq dari Kemenkumham.
Menjaga Hudoq dari Generasi ke Generasi
Tari Hudoq bukan hanya kebanggaan Dayak Bahau, melainkan warisan spiritual Nusantara. Frans Jiu Luay telah memperjuangkannya sepanjang hidup, memastikan Hudoq tetap hidup di hati generasi muda.
“Saya hanya ingin anak cucu saya tahu dari mana mereka berasal, dan apa yang patut mereka jaga,” tutup Frans, penuh keyakinan. (*)






