NEWS SEKALTIMPERKARA

Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Batas Wilayah Kota Bontang, Sidrap Masuk Kutim

Jakarta, Sekaltim.co – Gugatan batas wilayah Kota Bontang dengan Kutai Timur (Kutim) di Sidrap ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). MK resmi menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Malinau, Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kota Bontang yang telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2000.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu 17 September 2025.

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 10/PUU-XXII/2024. “Amar putusan, menolak sepenuhnya gugatan yang diajukan oleh pemohon,” tegasnya di hadapan sidang yang dimulai pukul 13.30 WIB.

Pertimbangan Hukum Mahkamah

Sekitar pukul 13.56 WIB, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum putusan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan apabila norma UU 47/1999 berbeda dengan fakta historis, rencana pemekaran awal, maupun lampiran peta dan aturan turunannya, maka DPR RI sebagai pembentuk undang-undang dapat meninjau kembali substansi regulasi tersebut.

“Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan penataan daerah yang menurut Pemohon masih bermasalah, maka pembentuk undang-undang perlu segera melakukan peninjauan secara komprehensif berkenaan dengan pengaturan terkait dengan batas wilayah yang dipersoalkan dalam permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 10/PUU-XXII/2024.

Mahkamah menegaskan bahwa permohonan terkait penegasan batas wilayah Kota Bontang sejatinya merupakan kewenangan pemerintah pusat bersama jajarannya. Penentuan titik koordinat batas daerah harus dilakukan oleh ahli kartografi, geodesi, maupun geografi, bukan oleh Mahkamah yang hanya berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang.

Mediasi Gagal Capai Kesepakatan

Sebelum putusan, MK sempat memerintahkan dilakukannya mediasi antara Pemerintah Kota Bontang dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Mediasi yang difasilitasi Gubernur Kalimantan Timur bersama supervisi Kementerian Dalam Negeri tersebut tidak mencapai titik temu.

Pemohon, yakni Pemerintah Kota Bontang, tetap bersikeras meminta agar wilayah Sidrap dan Desa Sekambing masuk kembali ke Kota Bontang. Sementara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur bertahan dengan argumennya bahwa wilayah tersebut masih menjadi bagian dari Kutai Timur.

Hasilnya, mediasi berakhir buntu sehingga MK melanjutkan pemeriksaan perkara hingga menjatuhkan putusan akhir.

Aspirasi Warga Perbatasan

Menurut Mahkamah, persoalan batas wilayah tidak hanya soal penarikan garis koordinat di peta, melainkan juga menyangkut kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan. Dalam banyak kasus, warga di perbatasan kerap merasakan dampak minimnya layanan publik dibanding mereka yang tinggal di pusat pemerintahan.

Karena itu, Mahkamah menilai penting adanya penyerapan aspirasi masyarakat sebelum penetapan batas wilayah dilakukan. Keputusan mengenai garis batas administrasi seharusnya mempertimbangkan aspek sosial, kesejahteraan, hingga kualitas hidup penduduk yang terdampak langsung.

Gugatan Kota Bontang

Pemerintah Kota Bontang sebagai pemohon menilai UU 47/1999 menimbulkan ketidakpastian hukum karena batas wilayah yang ditetapkan tidak sesuai dengan fakta historis. Sejak lama, Kecamatan Bontang Barat yang dibentuk berdasarkan Perda Kutai Nomor 17 Tahun 1999 tidak dimasukkan ke wilayah Kota Bontang.

“Di dalam undang-undang bahkan ada pengurangan wilayah. Desa Sekambing misalnya, ketika undang-undang disahkan, tidak lagi tercantum dalam peta Kota Bontang,” ujar kuasa hukum pemohon, Heru Widodo, saat sidang pendahuluan pada Februari 2024.

Selain itu, pemohon menyoroti wilayah Sidrap. Warga RT 19 hingga RT 25 di daerah tersebut sejak Pemilu 2004–2024 telah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Bontang dan menyalurkan hak pilihnya di TPS yang ada di Kecamatan Bontang Utara. Namun, Lampiran UU 47/1999 tidak memasukkan Sidrap ke dalam wilayah Kota Bontang, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terkait penggunaan hak pilih.

Permintaan dalam Petitum

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 2 UU 47/1999 bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga meminta agar Kecamatan Bontang Barat masuk ke dalam Pasal 7 dan Pasal 10 ayat 4 huruf c.

Selain itu, pemohon mendesak agar Pasal 10 ayat 5 huruf d dimaknai ulang menjadi “Kota Bontang mempunyai batas wilayah sebelah barat dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur.” Pemohon juga meminta agar Sidrap dan Desa Sekambing dimasukkan sebagai bagian sah dari wilayah Kota Bontang.

Namun, seluruh permintaan tersebut akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Pemerintah Pusat

Mahkamah menegaskan bahwa perumusan batas wilayah dalam UU 47/1999 maupun dalam Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Penentuan titik koordinat harus dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Dengan demikian, MK menegaskan tidak memiliki kapasitas untuk mengubah atau menetapkan garis batas wilayah karena membutuhkan kajian teknis mendalam.

Dampak bagi Penataan Daerah

Putusan MK ini memberi pesan penting bahwa penataan wilayah administrasi harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. Selain aspek hukum dan teknis, faktor sosial, aspirasi masyarakat, serta pemerataan pelayanan publik juga harus dipertimbangkan.

Meski gugatan Kota Bontang ditolak, Mahkamah tetap memberikan ruang bagi DPR dan pemerintah untuk meninjau ulang substansi UU 47/1999 apabila terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan begitu, persoalan batas daerah diharapkan bisa terselesaikan tanpa menimbulkan konflik berkepanjangan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button