Menelusuri Hubungan Kuat antara Kutai dan Mandar!

SEKALTIM.CO – Rudy Mas’ud dan Ir Seno Aji melakukan silaturahmi bersama ke Tanah Kutai dengan penuh kehormatan. Pasangan ini disambut melalui prosesi tepong tawar oleh 50 lembaga adat di Bumi Mulawarman, Jumat (9/8/2024).

Awang Yacoub Luthman, tokoh adat setempat, menilai kehadiran keduanya di Tanah Kutai ini sebagai momen bersejarah yang benar-benar sangat penting. Pasalnya, Rudy Mas’ud dianggap sebagai saudara oleh sesepuh di Tanah Kutai.

Mengapa demikian, ia pun menceritakan salah satu sinopsis tentang Tanah Kutai yang sedari dulu benar-benar bersahabat dengan orang-orang dari Pulau Sulawesi. Bahkan, raja-raja Kutai menikah dengan keturunan kerajaan dari Sulawesi.

“Kedatangan ini merupakan sejarah. Sejarah itu tidak semuanya tertulis, tapi alhamdulillah bisa menjadi satu sejarah. Mudah-mudahan bisa menjadi satu catatan penting di Tanah Kutai,” ujarnya, di RM Banjar Sari, Tenggarong.

Kutai, yang sering kali dipandang sebagai sebuah suku, sebenarnya merupakan bangsa dengan tanah dan sejarahnya sendiri. Lebih dari suku, Kutai itu sebuah bangsa dan tanah dengan identitas yang mendalam.

“Kutai itu bukan suku, Kutai itu adalah bangsa. Kutai itu adalah tanah Kutai, atau negeri Kutai,” jelasnya.

Asal mula darah Kutai dan Mandar bercampur 
Dalam catatan sejarah, Aji Raja Mandarsyah, Raja Kutai Karta Negara ke-4, menceritakan kisah sejarah yang menghubungkan Kutai dengan Kerajaan Mandar. Menurut Awang, semua bermula saat anak termuda dari Aji Batara Agung Paduka Nira (bergelar Aji di Dalam Taju) menikahi seorang putri dari Wajo.

“Anak termudanya itu bernama Aji Maharaja Sultan, Raja ke-3 Kutai Kartanegara, beristri Ratu Suri, yang berasal dari Wajo,” tuturnya.

Saat Ratu Suri sedang hamil, Maharaja Sultan mengalami sakit yang kemudian diobati oleh seorang Mara’dia, yang berasal dari Mandar. Setelah melakukan pengobatan, pada akhirnya Maharaja Sultan kembali sembuh dan sehat seperti sedia kala.

“Sebagai ucapan terima kasih, anak dalam kandungan Ratu Suri dimintakan nama oleh Maharaja Sultan pada tokoh Mara’dia Mandar. Kemudian dinamai lah anak itu Mandarsyah, atau dikenal sebagai Aji Raja Mandarsyah, yang kemudian menjadi Raja ke-4 pengganti ayahnya, Maharaja Sultan,” terangnya.

Raja Mandarsyah pun jatuh hati dan mempersunting Ing Junjung Putri dari negeri Soppeng sebagai permaisuri. Mereka dikaruniai anak bernama Aji Raja Putri, yang kemudian dikawinkan dengan Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya, yakni Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-5.

“Setelah itu, lahirlah Raja Mahkota Mulia, yang menjadi Raja ke-6 Kerajaan Kutai,” paparnya.

Aji Raja Mahkota Mulia Alam yang berdarah Soppeng ini tegas Awang Yacoub Luthman, memperkuat bukti alkulturasi bahwa darah Bugis itu sudah menjadi bagian dalam darah para Raja di Kerajaan Kutai.

“Kerajaan Kutai dan Kerajaan Mandar telah terakulturasi bukan hanya budaya, tapi juga telah terakulturasi darah,” pungkasnya.

Makna Lagu Tenggang-Tenggang Lopi

Tak sampai disitu, ia juga menceritakan kisah sejarah yang menghubungkan Kerajaan Kutai dan Kerajaan Mandar melalui lagu Tenggang-Tenggang Lopi. Makna dalam lagu ini dirasa benar-benar menggambarkan hubungan antara kedua kerajaan.

“Saat itu, anak turunan dari Mara’dia, yakni raja Mandar, bersama rombongannya berkunjung ke Kerajaan Kutai, yang akhirnya diceritakan dalam sebuah lagu Tenggang-Tenggang Lopi. Lagu ini ternyata menceritakan hubungan Kerajaan Mandar dan Kerajaan Kutai,” katanya.

Dalam lirik lagu Lamballiwang di lallute, ia pun mengartikan bahwa itu penyebutan lain orang Mandar tentang Kutai. Kemudian kalimat lain juga disebutkan, Natoanama’ tedong lotong. Tedong lotong takke tandu. Apa mokana ma’ande.

“Istilah tedong lotong takke tandu bermakna babi. Jadi, delegasi dari Mandar disuguhi babi, tapi tidak dimakan oleh mereka. Sebab, orang Mandar ini sudah mengenal Islam. Artinya dalam narasi lagu, leluhur-leluhur dari Mandar ini menyimpan sejarah tentang masuknya Islam di Mandar sebelum Kutai,” urainya.

Lagu Tenggang-Tenggang Lopi mempertegas jika Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Mandar ini punya sejarah yang kuat, yang tak pernah tertoreh dalam kehidupan nyata, tapi tetap tertoreh dalam sejarah lahir dan sejarah tanah Kutai.

“Kerajaan Kutai dan Kerajaan Mandar telah menyatu takdir dan darahnya, menjadi sebuah alkulturasi budaya dan alkulturasi darah yang mempertegas kemuliaan, adab dan tingginya adat. Kutai tertoreh menjadi bagian daripada Kerajaan Mandar,” bebernya.

Pahami arti Persaudaraan

Atas dasar itu, kehadiran Rudy Mas’ud yang disebutkan, atau ada yang mengatakan, bukan menjadi bagian daripada Tanah Kutai, sudah sepatutnya ditepis. Justru, seharusnya sejarah ini bisa membuat masyarakat lebih sadar dan mengerti arti persaudaraan dan kekeluargaan.

“Jangan-jangan, orang yang mengatakan jika beliau itu bukan bagian orang Kutai, jangan-jangan dia lah yang bukan orang Kutai. Maka hari ini, kami sampaikan pada kepala adat kita, kalau kita ingin meninggikan, jangan meninggikan karena suara. Kalau kita ingin meninggikan, jangan karena hati kita yang tinggi,” pesannya.

“Sekarang mari kita tinggikan kepada orang yang benar, yang tertoreh dalam sejarah, yang tertoreh dalam apa yang menjadi darah kita semua. Semoga apa yang kami sampaikan, tidak menjadi hal yang salah dalam kehidupan sehari-hari,” lanjutnya.

Sejarah diantara keduanya terbentuk karena ketulusan dari Aji Raja Mandarsyah, Raja Kutai Karta Negara ke-4, yang rupanya telah menjadi bagian dari tanah Wajo dan tanah Soppeng.

“Ingat, adat tidak mungkin bisa kita tinggikan kalau sejarah adabnya tidak menjadi bagian dalam kehidupan. Alhamdulillah Rudy – Seno hadir bersama kami, lebih banyak saudara-saudara kami yang berdarah Bugis hadir disini. Insyaallah sejarah ini akan kami sampaikan kebanyak orang,” ulasnya.

Jaga Harmoni dan Budaya di Tanah Kutai

Kehadiran Rudy Mas’ud – Ir Seno Aji di Tanah Kutai menegaskan pentingnya menghargai dan menjaga adat serta sejarah. Komitmen mereka untuk menjalin hubungan erat dengan masyarakat adat benar-benar terlihat serius.

Melalui kunjungan keduanya, mereka tidak hanya menunjukkan komitmen kuat terhadap masyarakat adat, tetapi juga menegaskan jika pemahaman sejarah merupakan kunci untuk menjaga harmoni dan identitas budaya di Tanah Kutai.

“Luar biasa sinopsis yang disampaikan Kanda Awang Yacoub. Semoga silaturahmi ini bisa terus terjalin. Semoga kita menjadi orang-orang beradab, orang yang tahu akan adat budayanya,” ungkap anggota DPR RI Rudy Mas’ud, yang juga merupakan bakal calon gubernur Kaltim.

“Kita ingin adat budaya mencerminkan adab, yang juga mencerminkan silaturahmi. Dan hal paling utama adalah, seseorang bisa benar-benar mengetahui dari mana asalnya. Kalau tahu adabnya tentu akan tahu asalnya dari mana,” sambungnya.

Setelah bersilaturahmi dengan para sesepuh dari masing-masing 50 lembaga adat di Bumi Kalimantan, Rudy Mas’ud dan Ir Seno Aji pun segera beranjak untuk melaksanakan ziarah ke makam para Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Terutama, Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), Raja ke-15 dari Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang juga pendiri Kota Tenggarong.

“Kita berziarah ke makam raja-raja dan sultan-sultan dari Kutai Kertanegara. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pemimpin dan pahlawannya,” tutup pria kelahiran Balikpapan, 1 Juni 1980 ini.

Exit mobile version