SEKALTIM.CO – Dinasti politik masih menjadi topik perbincangan yang terus digaungkan di Indonesia dengan narasi-narasi negatif. Meski nyatanya, Indonesia adalah penganut sistem demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri.
Isu seksi ini pun menarik perhatian Pengamat Sivil Society Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda (UINSI), yakni Arsinah Sadar. Berdasarkan pandangannya, dinasti politik dan politik dinasti itu berbeda.
Politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang. Biasanya, mereka ini masih terkait hubungan keluarga, misal, ayahnya mewarisi kekuasannya kepada anaknya, tanpa dipilih rakyat.
“Biasanya, sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara-negara yang menganut sebuah sistem monarki. Kalau di Indonesia sekarang ini sistemnya itu demokrasi,” ujarnya, Senin (4/11/2024).
Di masa lalu, seorang pemimpin seperti raja ataupun residen dipilih berdasarkan garis keturunan. Hanya anak-anak dari keluarga bangsawan atau monarki yang dapat menjadi penerus, sehingga kekuasaan terus berpusat pada keluarga-keluarga tertentu.
Hal ini tidak terlepas dari struktur sosial patriarkal yang mendominasi masyarakat.
“Masyarakat zaman dahulu mempercayakan seluruh kehidupan dan kesejahteraannya pada seorang raja, yang dianggap sebagai wakil Tuhan atau Dewa. Kekuatan tradisi ini begitu kuat sehingga masyarakat cenderung memilih pemimpin dari keluarga yang sama.”
Lebih lanjut, politik dinasti merupakan bentuk kekuasaan yang memang dikonstruksi dengan sengaja melalui persiapan khusus bagi sosok generasi penerus. Dengan kata lain, sistem ini memiliki akar historis yang dalam, terutama di wilayah-wilayah yang sebelumnya dipimpin oleh kerajaan atau kesultanan.
Dalam konteks sekarang, dinasti politik kerap kali disamakan dengan politik dinasti. Padahal keduanya berbeda, sebab dinasti politik tidak lagi terbatas hanya pada keluarga kerajaan. Bentuknya telah berkembang melalui sistem partai politik (parpol), di mana kader-kader dipersiapkan dengan matang agar ke depan dapat melanjutkan kepemimpinan.
Banyak partai politik di Indonesia, seperti Golkar dan PDI Perjuangan, mengembangkan kaderisasi untuk membentuk penerus yang memiliki kesamaan ideologi dan visi dengan pendiri partai.
Pada kasus tertentu, seorang tokoh yang disegani, seperti Presiden pertama Soekarno, berhasil menciptakan penerus ideologis meski tidak secara langsung dari keturunannya.
“Walau sosok Soekarno tidak punya keturunan yang bisa dijadikan pemimpin kelak, tapi dia melahirkan banyak anak-anak ideologis, ya itulah penerus-penerus Soekarno.”
Namun, Arsinah menekankan bahwa dinasti politik ini masih kontroversial. Sebagian dari masyarakat melihatnya sebagai peluang untuk memastikan kesinambungan kebijakan dan stabilitas pemerintahan, sementara yang lain menganggapnya sebagai ancaman bagi meritokrasi.
“Kan yang terpenting, dinasti politik ini tetap saja berjalan dalam kerangka demokrasi yang sehat.”
Arsinah juga menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memilih. Meski seorang kader atau keluarga politik dipersiapkan dan didukung penuh dengan berbagai sumber daya, keputusan akhir tetap saja berada di tangan rakyat.
“Jadi, kita juga tidak bisa menyalahkan sistem dinasti politik sepenuhnya, yang dibentuk dan diciptakan berdasarkan pengkaderan. Intinya, sekarang itu, bagaimana rakyat bisa memilih pemimpin yang mereka percayai, terlepas dari latar belakang keluarganya.”
Di beberapa kasus, keluarga-keluarga politik di Indonesia, seperti keluarga Soeharto, telah melahirkan kader-kader politik dari generasi ke generasi. Pemilihan Umum (Pemilu) tidak lagi sekadar soal persaingan antara individu, tetapi juga persaingan antar-keluarga yang memiliki jaringan dan sumber daya kuat.
Fenomena ini pun kerap menimbulkan kritik dari berbagai kalangan. Tapi hal yang harus diingat, politik itu bukan soal baik atau buruk, tapi menang dan kalah. Dengan penegasan, mereka yang menang itu dipilih oleh rakyat.
“Baik atau buruk itu sifatnya relatif. Jadi ketika ada kelompok atau keluarga yang menyiapkan dirinya dipilih di tempat berbeda. Lalu ternyata dia terpilih, lah yang salah siapa? Apakah yang salah itu mereka yang memilih? Tidak kan, itu terserah rakyat yang memilih. Ketika calon ini menang, kan dalam prosesnya itu pasti ada persaingan. Kalau dia menang kenapa marah.”
“Menang jangan jadi sombong, kalah jangan hancur dan bersedih. Kalau orang yang punya jiwa politisi itu mereka pantang menyerah. Kalah sekarang, lanjut lagi. Mereka tidak akan pernah berputus asa, karena begitu sukanya di politik, dia enggak pernah menyerah.”
Era demokrasi ini seharusnya membuka ruang yang lebih luas bagi setiap warga negara di Indonesia untuk mencalonkan diri dan dipilih menjadi pemimpin. Meski demikian, dinasti politik tetap sulit dihindari, karena sistem itu dilakukan melalui pengkaderan yang dibentuk oleh masing-masing partai politik.
“Kalau kalah lalu iri dan marah itu yang tidak baik. Pertanyaannya, kenapa kemarin-kemarin tidak menyiapkan diri untuk menang. Dalam perpolitikan sekarang sistemnya networking. Jadi ada sistem network, kerja sama bangun tim. Tujuannya apa, ya supaya menang.”
Kendati begitu, perlu diketahui, dinasti politik bisa menjadi ancaman bagi demokrasi apabila hanya menguntungkan kelompok tertentu saja tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitas calon pemimpin.
“Yang penting, kita semua memastikan bahwa demokrasi yang dijalankan tetap berdasarkan pilihan jujur dan berkualitas. Pilihlah calon pemimpin berkualitas.”
Pemimpin yang seharusnya dipilih Rakyat
Seorang pemimpin kata dia, harus memiliki kualitas moral dan integritas yang tinggi serta berkomitmen pada kepentingan masyarakat. Pemimpin yang baik, menurut Arsinah, bukan hanya sekadar memimpin saja, tetapi harus menjadi suri teladan bagi masyarakat.
Pernyataan Arsinah ini merujuk pada Surah Al-Mu’minun yang menjelaskan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dalam ayat-ayat itu, disebutkan bahwa seorang pemimpin harus menjaga ibadahnya, amanah, dan mengutamakan kebaikan bagi masyarakat.
“Pilihlah pemimpin yang menjaga ibadah dan disiplin dalam hidupnya. Ketika seseorang menjaga ibadahnya, maka dia menunjukkan kedisiplinan dan tanggung jawabnya. Hal ini penting karena akan tercermin dalam cara ia mengemban tugas-tugas kepemimpinannya.”
Tak hanya itu, seorang pemimpin yang baik, seharusnya juga mampu mengendalikan hawa nafsunya. Baik itu nafsu syahwat, atau nafsu lainnya. Seorang pemimpin seharusnya sadar, ia tidak boleh terbawa pada tindakan yang melanggar moral, seperti penyalahgunaan kekuasaan.
“Jika seorang pemimpin memiliki sifat-sifat positif ini, ia tidak hanya mampu memimpin dengan baik, akan tetapi dia juga membawa keberkahan bagi rakyatnya.”
Bila dilihat dari konteks demokrasi modern, kualitas moral seorang pemimpin adalah hal yang sangat penting. Pemimpin seharusnya mampu mendengarkan suara rakyat. Ia harus bisa menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, dan bersedia berkorban demi kebaikan bersama.
“Rakyat berhak memilih, maka pilihlah sosok pemimpin yang menunjukkan kualitas ini.”
Ditegaskan Arsinah, demokrasi bukan hanya memenangkan suara, tetapi juga membangun kepercayaan rakyat. Seorang pemimpin yang baik, akan memahami pentingnya bekerja sama dengan tim, merangkul semua pihak, dan memiliki visi yang jelas untuk membawa perubahan positif bagi rakyatnya.
“Kalau pemimpin itu hanya memikirkan kepentingan sendiri atau golongannya saja, mereka akan sulit bertahan dalam sistem demokrasi yang sehat. Rakyat perlu melihat komitmen nyata dari pemimpin yang mereka pilih.”
Pemilih di Kalimantan Timur (Kaltim) kata dia, harus lebih jeli dalam menentukan pemimpin. Arsinah pun mengajak masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh popularitas atau janji-janji manis saja, tetapi para pemilih harus melihat rekam jejak, integritas, dan karakter calon pemimpin.
“Sebagai pemilih, kita punya tanggung jawab besar untuk memilih pemimpin yang benar-benar bisa diandalkan dan akan bekerja untuk kebaikan bersama. Mari kita bersama-sama membangun demokrasi yang sehat dengan memilih pemimpin berkualitas,” tutupnya.