SEKALTIM.CO – Permasalahan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah lama menjadi isu kritis yang kompleks, mencakup berbagai aspek mulai dari krisis minyak dunia hingga tantangan distribusi di daerah-daerah pelosok.
Menurut seorang mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) yang tidak disebutkan namanya, praktik penimbunan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih marak terjadi di daerah pelosok Kalimantan Timur (Kaltim).
“Saya ingin menyinggung permasalahan yang terjadi di Kaltim, seperti Kutai Barat. Jadi di sana, saat ini masih marak penimbunan BBM subsidi,” ungkapnya ketika menghadiri diskusi bersama Rudy Mas’ud, mantan anggota DPR RI dapil Kaltim.
Penimbunan ini dilakukan oleh oknum-oknum yang menggunakan mobil pick up dan motor dengan tangki besar modifikasi. Akibatnya, harga BBM yang awalnya Rp10 ribu per liter kini melonjak drastis menjadi Rp25 ribu per liter.
“Kalau berbicara tentang aspek keadilan, saya pikir masyarakat sangat-sangat dirugikan oleh perbuatan yang dilakukan oknum tersebut,” jelasnya pada Senin (7/10/2024) di Ruang Aula Lantai 4 Gedung Rektorat, Unmul, jalan Kuaro Gunung Kelua, Samarinda.
Pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi.
Jika merujuk berdasarkan pasal itu lanjutnya, pelaku bisa dijatuhi hukuman penjara hingga enam tahun serta denda maksimal Rp60 miliar.
Mahasiswa Unmul itu pun mempertanyakan efektivitas penerapan undang-undang ini di lapangan, mengingat praktik penimbunan BBM subsidi masih terus terjadi di berbagai daerah, termasuk di Kutai Barat.
“Bagaimana pandangan bapak terkait kejadian ini dan apa solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut,” tanyanya.
Menanggapi hal tersebut, Rudy Mas’ud turut memberikan pandangannya. Ia menegaskan bahwa meskipun kasus ini terlihat kecil jika dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan penyalahgunaan BBM berskala besar, hal itu tetap melanggar hukum dan harus diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
“Secara hukum, ini masuk ke ranah pidana. Kecil atau besar, tindakan seperti ini tetap salah dan harus diproses,” kata Rudy Mas’ud, yang juga merupakan calon gubernur (cagub) Kaltim.
Namun, Rudy juga memberikan perspektif lebih luas tentang tantangan distribusi BBM di wilayah-wilayah terpencil seperti Kutai Barat. Menurutnya, masalah ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga terkait dengan kesenjangan distribusi energi di daerah-daerah yang jauh dari pusat produksi.
Pria kelahiran Balikpapan itu mengungkapkan bahwa masyarakat di beberapa daerah yang ada di Kaltim, bahkan kesulitan mendapatkan akses BBM karena minimnya fasilitas seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Di beberapa wilayah terpencil seperti Muara Pantuan atau Tanjung Barukang, penduduk di sana terpaksa melakukan barter hanya untuk mendapatkan bahan bakar minyak. Mereka rela menukar ikan, udang ataupun kepiting demi seliter solar maupun bensin.
“Saya pernah melihat sendiri di daerah seperti Muara Pantuan dan Tanjung Berukang, orang-orang di sana harus melakukan barter dengan hasil laut untuk mendapatkan BBM. Ini ironis, mengingat daerah itu dikelilingi oleh sumber minyak, tetapi distribusinya tidak merata,” bebernya.
Ia juga mengkritik kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung kebutuhan masyarakat. Pertamina dirasa tidak mampu menyediakan outlet-outlet distribusi minyak yang cukup di seluruh Kaltim.
“Banyak SPBU yang ditutup di Balikpapan. Ini gambaran nyata dari sulitnya masyarakat kita mendapatkan BBM. Makanya kalau tanya ini pelanggaran dan pidana, jelas. Urusannya di polisi. Tapi kembali lagi, ini bicaranya tentang moral. Bicaranya soal wise, kebijaksanaan,” paparnya.
“Mengapa saya bicara soal moral, coba saja dibayangkan, jika ditengah laut kehabisan bahan bakar, mau bagaimana coba. Kalau minyak diantarkan ke sana, kena pasal 55 dong. Namun ini menjadi persoalan kita, harus ada solusi agar pelanggaran-pelanggaran itu tidak terjadi lagi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rudy Mas’ud menyarankan agar penanganan masalah ini tidak hanya fokus pada tindakan hukum saja. Akan tetapi, juga memperbaiki infrastruktur distribusi energi di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau.
Jika distribusi BBM dapat lebih merata kata dia, praktik ilegal seperti penimbunan BBM dapat diminimalkan. Sehingga, masyarakat di sana tidak lagi mengalami kesulitan untuk mendapatkan BBM.
“Jika distribusi BBM sudah baik dan merata, maka tidak akan ada celah bagi oknum-oknum untuk menimbun atau menjual BBM dengan harga yang jauh di atas standar. Jujur saja, saya miris rasanya jika melihat masyarakat di daerah terpencil harus berjuang lebih keras hanya untuk BBM,” tutupnya.