Pemkot Bontang Siap Cabut Gugatan Sengketa Batas Kampung Sidrap, Tunggu Konsolidasi DPRD

Jakarta, Sekaltim.co – Setelah berbulan-bulan perseteruan dan ketidakpastian, akhirnya terlihat titik terang dalam sengketa batas wilayah di Kampung Sidrap antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.

Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota Bontang, H Munawwar, mengumumkan bahwa Pemkot Bontang siap mencabut gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.

Keputusan ini diambil setelah serangkaian mediasi dan pendekatan persuasif terhadap warga Kampung Sidrap yang berada di wilayah Kutai Timur namun menuntut menjadi bagian dari Kota Bontang.

“Berdasarkan mediasi yang dilakukan Wali Kota yang kini cuti, Basri Rase, dan juga amanah dari Kementerian Dalam Negeri, kami memutuskan untuk mencabut gugatan tersebut,” ungkap Munawwar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu 2 Oktober 2024, yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI.

Namun, pencabutan gugatan ini harus menunggu kesepakatan antara Pemkot dan DPRD Bontang. Pasalnya, saat ini telah terjadi pergantian di DPRD Bontang usai Pemilu Legislatif 2024 dengan unsur alat kelengkapan dewan (AKD) baru.

Artinya keputusan pencabutan gugatan ini tidak serta-merta menyelesaikan seluruh permasalahan.

Munawwar menjelaskan bahwa proses pencabutan sedikit terhambat karena pergantian anggota DPRD Kota Bontang.

“Kami Pemerintah Kota Bontang menunggu dari DPRD yang baru untuk melaksanakan paripurna terkait dengan rencana pencabutan gugatan judicial review yang telah diajukan,” jelasnya.

Langkah ini menjadi terobosan signifikan dalam upaya penyelesaian konflik yang telah berlangsung sejak lama.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Bontang mengajukan gugatan terkait judicial review Undang-Undang Nomor 47 tahun 1999, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2000.

Gugatan ini menyoroti ketidakjelasan status beberapa wilayah, termasuk Kecamatan Bontang Barat dan Desa Sekambing, yang tidak tercantum dalam lampiran undang-undang tersebut.

Mahkamah Konstitusi (MK) merespons perkembangan ini dengan menunda sidang pengujian undang-undang terkait.

Ketua MK Suhartoyo memberikan waktu hingga 18 Desember 2024 bagi para pemohon untuk melakukan konsolidasi dalam proses pencabutan permohonan Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024.

“Kami memberi kesempatan kepada pihak Pemohon untuk konsolidasi dalam proses pencabutan sebagaimana disampaikan Pak Pj Walikota tadi,” ujar Suhartoyo dalam sidang dengan agenda Mendengar Keterangan DPR dan Wali Kota Bontang.

Pj Gubernur Kalimantan Timur, Akmal Malik, menanggapi perkembangan ini dengan optimis. Ia menyatakan apresiasi atas keputusan Pemkot Bontang untuk mencabut gugatan.

“Kita apresiasi ya. Karena, dari kasus gugatan terhadap sengketa batas Kampung Sidrap yang menghubungkan Pemkot Bontang dan Kabupaten Kutim, kini ditarik kembali atau dicabut oleh Pemkot Bontang,” kata Akmal di Gedung MKRI, Jakarta.

Meski demikian, Akmal mengingatkan bahwa kunci penyelesaian kasus ini terletak pada kesepakatan antara Pemkot Bontang dan DPRD.

“Kuncinya memang ada di DPRD sekarang. Karena, pemerintahan daerah itu adalah antara DPRD dengan Pemerintah Daerah,” tegasnya.

Ia optimis bahwa permasalahan ini akan selesai tahun ini, mengingat keputusan MK bersifat final dan mengikat.

Sengketa wilayah ini bermula dari ketidakjelasan status beberapa wilayah dalam UU 47/1999.

Para pemohon, yang terdiri dari Walikota Bontang Basri Rase bersama jajaran DPRD Kota Bontang, mempersoalkan wilayah Kota Bontang yang hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bontang Selatan dan Kecamatan Bontang Utara.

Mereka menganggap tidak dimasukkannya Kecamatan Bontang Barat ke dalam wilayah Kota Bontang menimbulkan ketidakpastian hukum.

Selain itu, status Desa Sekambing yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari Kecamatan Bontang Selatan juga menjadi persoalan.

Padahal, keberadaan desa ini telah ada sejak Bontang berstatus sebagai Kota Administratif.

Permasalahan lain yang disoroti adalah batas wilayah sebelah barat Kota Bontang yang digambarkan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu, padahal seharusnya dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur.

Kasus ini semakin rumit dengan adanya wilayah Sidrap atau yang kini dikenal dengan nama “RT” yang terdiri dari RT 19, RT 20, RT 21, RT 22, RT 23, RT 24, dan RT 25. Wilayah ini semula menjadi bagian dari Kecamatan Bontang Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai, namun kemudian berubah menjadi bagian wilayah yang masuk ke Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur.

Perubahan ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan norma baru tentang batas kota di sebelah utara.

Upaya penyelesaian sengketa ini sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai cara, termasuk koordinasi dan supervisi yang difasilitasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, serta permohonan penyelesaian kepada Kementerian Dalam Negeri.

Bahkan, pernah dilakukan pengujian Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 25 Tahun 2005 tentang Penentuan Batas Wilayah Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Timur Kabupaten Kutai Kartanegara ke Mahkamah Agung (MA), namun ditolak.

Dengan perkembangan terbaru ini, harapan untuk penyelesaian sengketa wilayah antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur semakin besar.

Masyarakat kedua wilayah tersebut kini menanti langkah konkret dari pemerintah daerah dan DPRD untuk segera menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas.

Akmal Malik menekankan pentingnya kecepatan dalam penyelesaian kasus ini. “Mudahan cepat selesai. Saya yakin, Insyaallah tahun ini selesai. Karena, keputusan MK bersifat final dan inkrah,” ujarnya. (*)

Exit mobile version