Samarinda, SEKALTIM.CO – Di tengah hiruk pikuk modernisasi yang terus merambah pelosok Nusantara, sebuah desa tua di Kalimantan Timur (Kaltim) tengah berjuang mempertahankan eksistensinya.
Kedang Ipil, nama desa yang mungkin tak banyak terdengar di telinga masyarakat umum, kini menjadi sorotan setelah rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam keutuhan wilayah adat mereka.
Kisah perjuangan ini bukan sekadar tentang tanah, namun juga tentang identitas, warisan budaya, dan masa depan sebuah komunitas yang telah berakar selama berabad-abad.
Pada Senin, 29 Juli 2024, sebuah konferensi pers daring yang digelar oleh Solidaritas Kedang Ipil menjadi titik kulminasi dari kegelisahan yang telah lama terpendam.
Solidaritas ini merupakan gabungan dari berbagai komunitas dan organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur yang bersatu padu menyuarakan penolakan terhadap rencana perkebunan kelapa sawit di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara (Kukar).
“Kehadiran perkebunan kelapa sawit di wilayah adat kami telah menjadi bayang-bayang yang selalu menghantui,” ujar salah seorang perwakilan masyarakat adat dalam konferensi pers tersebut.
Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan dramatis, melainkan cerminan kekhawatiran mendalam akan dampak yang akan terjadi jika rencana tersebut terealisasi.
Kedang Ipil bukanlah desa biasa. Ia adalah rumah bagi komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil, sebuah komunitas yang memiliki akar sejarah yang begitu dalam dan kompleks.
Desa ini memiliki posisi istimewa dalam peta kebudayaan masyarakat adat Kutai, dengan setidaknya tiga peran penting yang disandangnya sejak abad lampau.
Pertama, Kedang Ipil pernah menjadi tempat pelarian para brahmana saat terjadi perang besar antara kerajaan Kutai Kartanegara dan kerajaan Kutai Martadipura di abad ke-14 Masehi.
Fakta ini menunjukkan bahwa desa ini telah menjadi tempat perlindungan dan persembunyian bagi mereka yang mencari keselamatan di masa-masa genting.
Kedua, desa ini dikenal sebagai pusat ilmu kanuragan yang sangat disegani. Reputasinya begitu kuat hingga konon tak pernah ada yang berhasil menundukkannya.
Hal ini menggambarkan kekuatan dan kemandirian masyarakat Kedang Ipil yang telah terbukti sejak zaman dahulu.
Ketiga, dan mungkin yang paling menarik, Kedang Ipil merupakan salah satu dari tiga poros penting Kesultanan Kutai Kartanegara.
Posisi ini tentu bukan sesuatu yang didapatkan dengan mudah, melainkan hasil dari peran dan kontribusi signifikan desa ini dalam sejarah panjang Kesultanan Kutai.
Namun, sejarah yang gemilang ini kini terancam oleh bayangan gelap ekspansi perkebunan kelapa sawit. PT Puncak Panglima Perkasa, perusahaan yang berencana melakukan ekspansi di wilayah ini, telah memulai aktivitasnya dengan melakukan pemetaan lokasi.
Tindakan ini dianggap oleh masyarakat sebagai langkah awal dari serangkaian upaya yang berpotensi melanggar hak-hak komunitas adat setempat.
Saiduani Nyuk, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Dayak Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, dalam konferensi pers tersebut menyuarakan keprihatinannya.
“Kami dari AMAN Kaltim dan dari perwakilan pemerintah desa Kedang Ipil menolak keberadaan mereka (perusahaan sawit) yang mengambil secara paksa lahan masyarakat adat,” tegasnya.
Nyuk juga mengungkapkan taktik yang digunakan perusahaan sawit dalam upaya ekspansinya. “Mereka menggunakan siasat memengaruhi satu per satu masyarakat untuk menjual tanah,” jelasnya.
Hingga saat ini, menurut Nyuk, sudah ada tiga nama yang menyerahkan lahannya kepada perusahaan. Strategi ini tentu saja mengkhawatirkan, karena berpotensi memecah belah persatuan masyarakat adat yang selama ini terjaga dengan baik.
Penolakan masyarakat Kedang Ipil terhadap rencana perkebunan sawit ini bukan tanpa alasan. Selain nilai historis yang tak ternilai, desa ini juga memiliki kekayaan budaya yang telah diakui secara nasional.
Dua tradisi tua masyarakat Kedang Ipil, yakni Nutuk Beham (upacara prapanen padi) dan Muang (upacara kematian), telah resmi disahkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda tingkat Nasional melalui SK Kemendikbudristek RI No.414/O/2022 tanggal 21 Oktober 2022.
Pengakuan ini bukan hanya sebuah prestasi, tetapi juga tanggung jawab besar untuk melestarikan warisan budaya tersebut. Kehadiran perkebunan kelapa sawit dikhawatirkan akan mengancam keberlangsungan tradisi-tradisi ini.
Hilangnya lahan pertanian tradisional dan perubahan pola hidup masyarakat akibat industrialisasi bisa jadi akan mengikis praktek-praktek budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Lebih dari itu, ancaman yang dihadapi oleh masyarakat Kedang Ipil bukan hanya terbatas pada aspek budaya. Ekspansi perkebunan sawit juga berpotensi menghilangkan hutan dan situs-situs religius milik masyarakat adat.
Hal ini dinilai akan berdampak besar terhadap ekosistem dan keseimbangan alam yang selama ini dijaga dengan baik oleh masyarakat adat.
Melihat besarnya ancaman yang dihadapi, Solidaritas Untuk Komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil mengeluarkan pernyataan sikap yang tegas.
Mereka tidak hanya menolak pemberian izin dan upaya masuknya perusahaan sawit PT Puncak Panglima Perkasa, tetapi juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera mengakui dan melindungi secara penuh hak-hak komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi,” demikian bunyi salah satu poin dalam pernyataan sikap Solidaritas Masyarakat Sipil Kaltim untuk Masyarakat Adat Kedang Ipil.
Desakan ini selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa sudah sewajarnya jika perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai hak-hak tradisional mereka yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang.
Namun, hingga saat ini, respons dari pemerintah daerah masih belum terlihat. Surat penolakan yang telah dikirimkan oleh warga kepada Bupati Kutai Kartanegara belum mendapatkan tanggapan. Sementara itu, aktivitas PT Puncak Panglima Perkasa terus berlanjut, dimulai dengan pemetaan lokasi.
Situasi ini tentu saja menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat sipil Kalimantan Timur. Mereka menilai bahwa sikap pemerintah yang terkesan membiarkan aktivitas perusahaan sawit berlangsung merupakan bentuk legitimasi terhadap upaya perampasan hak-hak masyarakat adat.
Perjuangan masyarakat Kedang Ipil ini mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kalimantan Timur. Sejumlah lembaga seperti AMAN Kaltim, KIKA Kaltim, Walhi Kaltim, Pokja30, SAKSI FH Unmul, Sambaliung Corner, Nomaden Institute, LBH Samarinda, JATAM Kaltim, dan berbagai organisasi mahasiswa turut bergabung dalam Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur untuk Komunitas Masyarakat Adat Kutai Lawas Desa Kedang Ipil.
Dukungan luas ini menunjukkan bahwa isu yang dihadapi oleh masyarakat Kedang Ipil bukan hanya persoalan lokal, melainkan menyentuh aspek yang lebih luas terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat dan pelestarian warisan budaya bangsa.
Perjuangan masyarakat Kedang Ipil ini menjadi cermin dari dilema yang dihadapi banyak komunitas adat di Indonesia.
Di satu sisi, tuntutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi mendorong ekspansi industri hingga ke pelosok-pelosok negeri.
Di sisi lain, ada kebutuhan untuk melestarikan warisan budaya dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang telah dijamin oleh konstitusi.
Kasus Kedang Ipil ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ini juga menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali arah pembangunan.
Apakah akan terus mengorbankan warisan budaya dan kearifan lokal demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek? Atau akankah menemukan jalan tengah yang dapat mengakomodasi kebutuhan pembangunan sekaligus melindungi hak-hak dan warisan budaya masyarakat adat?
Jawabannya tentu tidak sederhana. Namun, satu hal yang pasti, suara masyarakat Kedang Ipil dan dukungan luas yang mereka terima menunjukkan bahwa ini bukan lagi sekadar perjuangan segelintir orang.
Ini adalah perjuangan bersama untuk menjaga keberagaman, melestarikan warisan budaya, dan memastikan bahwa pembangunan berjalan selaras dengan nilai-nilai luhur yang telah dijaga selama berabad-abad. (*)