Pj Gubernur Kaltim Soroti Persoalan Regulasi di Daerah saat RDP di DPD RI

Jakarta, SEKALTIM.CO – Penjabat (PJ) Gubernur Kalimantan Timur, Akmal Malik, menyampaikan keinginan agar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dapat menjembatani atau memfasilitasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait persoalan mal-administrasi yang sering terjadi di daerah.

Akmal Malik menyampaikan persoalan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPD RI di Ruang Majapahit, Gedung DPD-RI, Jakarta, Rabu 13 Maret 2024.

RDP ini digagas oleh Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Dalam RDP yang dipimpin oleh Ketua PPUU DPD Dedi Iskandar Batubara, Akmal Malik memberikan pandangan komprehensif terkait persoalan mal-administrasi yang kerap terjadi di daerah. Ia menyebut bahwa terjadinya mal-administrasi di pemerintahan daerah secara umum bermuara dari persoalan regulasi yang multitafsir.

“Kami juga di Ditjen Otda punya satu direktorat, yaitu Direktorat Produk Hukum Daerah, yang tugasnya memfasilitasi dan mengharmonisasi peraturan gubernur, perda provinsi se-Indonesia. Kemudian sekarang dengan hadirnya penjabat-penjabat gubernur, bupati/wali kota, hampir 251 penjabat, ketika melakukan fasilitasi dan harmonisasi pun harus kepada Ditjen Otda di Kemendagri. Dari sini kami dapat memahami betapa tidak mudahnya persoalan regulasi di daerah,” ujar Akmal Malik yang juga merupakan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri ini, dikutip dari Adpimprov Kaltim.

Akmal menjelaskan bahwa sebagai negara kesatuan, presiden menyerahkan tugasnya kepada menteri-menteri yang jumlahnya 34 orang. Masing-masing menteri membuat undang-undang dan menyiapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Rata-rata terdapat 2-3 undang-undang pada satu kementerian, yang kemudian harus dieksekusi oleh pemerintah daerah.

Menurut Akmal Malik, persoalan sering muncul ketika regulasi tingkat pusat (UU, PP, atau Permen) menjadi NSPK dan diwajibkan kepada pemerintah daerah untuk membuat regulasi turunannya.

“Seringkali daerah menerjemahkannya karena daerah punya kepentingan, daerah diberikan otonomi, diberikan kewenangan. Nah, seringkali kewenangan itu ketika tidak ada benchmarking (tolok ukur/standar pembanding-Red) yang jelas, maka kewenangan itu akan berbeda di 34 provinsi se-Indonesia,” jelasnya.

Akmal menegaskan bahwa regulasi tingkat pusat harus lebih jelas sehingga mudah diterjemahkan oleh daerah. Ia juga menyoroti bahwa pendekatan hukum saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan pendekatan politik dan manajerial dalam sebuah wadah.

“Saya berpandangan ketika kita hanya menghadirkan pendekatan-pendekatan hukum, kemudian kita mengabaikan pendekatan politik dan pendekatan manajerial dalam sebuah wadah, saya khawatir akan lebih panjang lagi persoalan ini ke depan. Kita menginginkan pimpinan DPD bisa menjembatani hal seperti ini,” pungkas Akmal Malik yang didampingi Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Kaltim, Suparmi. (*)

Exit mobile version