Samarinda, Sekaltim.co – Sidang kasus perdata antara Arih Frananta Filifus (AFF) Sembiring melawan Gubernur Kalimantan Timur dalam perkara Nomor 22/G/2024/PTUN.SMD kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda pada Rabu, 4 September 2024. Sidang dipimpin
AFF Sembiring sebelumnya mengalami mutasi di lingkup Pemprov Kaltim oleh Pj Gubernur Kaltim dari jabatan Kepala Satpol PP Provinsi Kaltim menjadi staf ahli gubernur pada 21 Maret 2024 lalu. Keputusan itu tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 800.13.3/7500/BKD/III tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemprov Kaltim.
Sidang ini menghadirkan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Dr. Herdiansyah Hamzah, yang memberikan keterangan terkait dugaan mutasi sewenang-wenang oleh Pj. Gubernur Kaltim.
Dalam kesaksiannya, Dr. Herdiansyah Hamzah menekankan bahwa mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) harus berlandaskan aturan hukum dan berbasis kinerja.
Ia mengingatkan bahwa setiap kebijakan mutasi ASN harus mengikuti prinsip-prinsip hukum yang jelas untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pegawai.
Prinsip Hukum dalam Manajemen ASN
Dr. Herdiansyah Hamzah memulai keterangannya dengan menyoroti pentingnya prinsip hukum dalam manajemen ASN, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Menurutnya, dalam Pasal 2 UU ASN, terdapat 13 prinsip yang menjadi pedoman dalam manajemen ASN, dan lima di antaranya sangat relevan dalam konteks mutasi, yaitu kepastian hukum, profesionalitas, akuntabilitas, keterbukaan, serta keadilan dan kesetaraan.
“Mutasi harus mengutamakan prinsip kepastian hukum, yang berarti setiap keputusan harus berdasar pada landasan peraturan perundang-undangan dan menjunjung keadilan. Prinsip profesionalitas juga menuntut bahwa mutasi dilakukan berdasarkan keahlian yang objektif, bukan preferensi subjektif,” jelas Dr. Herdiansyah.
Ia juga menambahkan bahwa prinsip akuntabilitas dan keterbukaan mengharuskan setiap keputusan mutasi ASN dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan transparan. Sedangkan prinsip keadilan dan kesetaraan menjamin bahwa setiap ASN memiliki kesempatan yang sama dalam pengembangan karirnya.
“Artinya, setiap keputusan pejabat yang berwenang, harus didasarkan pada kesempatan yang sama. Dan salah satu basis penilaiannya adalah penempatan berbasis kinerja, bukan berdasarkan alasan subjektif yang sekedar berlandaskan like and dislike,” ungkapnya.
Waktu Mutasi dan Interpretasi Hukum
Salah satu aspek krusial yang dibahas dalam kesaksian Dr. Herdiansyah adalah ketentuan waktu minimal dalam mutasi ASN. Berdasarkan Pasal 190 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, mutasi dilakukan paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 tahun. Hal ini dipertegas oleh Pasal 132 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan sebelumnya.
“Waktu paling singkat 2 tahun merupakan jangka waktu yang wajar untuk menilai kinerja seorang ASN secara objektif,” ujar Dr. Herdiansyah. “Sebaliknya, jika atasan mengambil kesimpulan terhadap kinerja bawahannya kurang dari 2 tahun, maka penilaian sudah bisa dipastikan tidak komprehensif dan cenderung mengedepankan subjektivitas.”
Menurutnya, interpretasi hukum mengenai ketentuan ini harus menggunakan metode interpretasi gramatikal dan sistematis. Interpretasi gramatikal memaknai bahwa proses mutasi hanya boleh dilakukan setelah masa kerja 2 tahun terpenuhi, sementara interpretasi sistematis melihat aturan ini sebagai upaya memastikan objektivitas dalam penilaian kinerja ASN.
Antara Merit System dan Penyalahgunaan Wewenang
Dr. Herdiansyah juga menekankan pentingnya merit system dalam manajemen ASN. Merit system adalah sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pada kompetensi dan kinerja sebagai dasar pengambilan keputusan, termasuk mutasi. Sistem ini diadopsi dari praktik manajemen modern yang menjamin bahwa promosi, penempatan, dan mutasi ASN dilakukan berdasarkan prestasi, bukan atas dasar preferensi pribadi atau tekanan politik.
“Keputusan mutasi yang tidak didasarkan pada merit system adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Setiap tindakan yang tidak memenuhi prinsip objektivitas dan keadilan dalam mutasi ASN dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang,” tegas Dr. Herdiansyah.
Ia merujuk pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa setiap tindakan pejabat pemerintah harus berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
Surat Edaran dan Mutasi Sebelum 2 Tahun
Dr. Herdiansyah juga membahas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2023 yang memberikan pengecualian bagi mutasi ASN yang belum mencapai masa kerja 2 tahun. Meski demikian, ia menekankan bahwa pengecualian ini harus tetap berdasarkan penilaian kinerja yang objektif dan tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
“Surat Edaran tersebut memberikan ruang bagi mutasi yang lebih cepat, tetapi tidak boleh menyalahi aturan dasar dalam UU ASN. Setiap mutasi harus didasari pada penilaian kinerja yang akurat dan objektif untuk menghindari penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Dr. Herdiansyah menekankan bahwa, meski ada ruang untuk fleksibilitas, pengambilan keputusan harus tetap berpegang pada prinsip merit system dan objektivitas, demi menjaga integritas manajemen ASN dan melindungi pegawai dari tekanan politis.
Keterangan ahli dari Dr. Herdiansyah Hamzah dalam sidang kasus perdata AFF Sembiring melawan Gubernur Kalimantan Timur menyoroti pentingnya prinsip hukum dan merit system dalam manajemen ASN. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan mutasi harus berlandaskan aturan hukum yang jelas dan objektif, guna menghindari tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pegawai. (*)