NEWS SEKALTIM

Taman Para’an Samarinda Jadi Sorotan Aksi Krisis Iklim 17 Agustus 2025

Samarinda, Sekaltim.co – Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80 pada Minggu, 17 Agustus 2025, dimaknai berbeda oleh sekelompok aktivis lingkungan di Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim).

Dari kawasan flyover Air Hitam Samarinda, para aktivis membentangkan spanduk bertuliskan “Merdeka dari Krisis Iklim”.

Mereka mengangkat isu serius tentang krisis iklim dan menegaskan bahwa Kalimantan Timur belum benar-benar merdeka dari dampak energi fosil.

Sorotan termasuk di dalamnya terhadap Taman Para’an Samarinda. Ruang publik yang diresmikan Wali Kota Samarinda pada 19 Mei 2025 itu dikenal warga sebagai ruang terbuka hijau dengan panel surya yang dipasang untuk mendukung energi ramah lingkungan.

Taman Para’an Samarinda tanpa listrik PLN tetapi menggunakan teknologi solar panel 5000 W dengan menggunakan turbine angin di atas.

Baca:

Taman Para’an dari Suara Warga untuk Samarinda yang Lebih Nyaman

Namun bagi para aktivis yang tergabung dalam XR Bunga Terung, keberadaan panel surya di taman tersebut justru menggambarkan paradoks transisi energi di Indonesia.

Panel surya dianggap sebagai solusi palsu, sebab bahan bakunya berasal dari tambang pasir silika yang membuka peluang baru bagi praktik ekstraktivisme di Kaltim.

Mereka menilai Taman Para’an menjadi contoh nyata bagaimana upaya hijau hanya bersifat kosmetik, tanpa menyentuh akar masalah krisis iklim.

“Berbagai upaya penggunaan EBT seperti PLTS yang diterapkan di Kalimantan Timur kenyataannya justru tidak berjalan dengan lancar dan masih bergantung dengan PLTU, seperti Masjid Babburahman, Taman Para’an dan lain sebagainya. Penggunaan panel surya juga justru memperpanjang nafas ekstraktivisme di Kalimantan Timur, sebab bahan dasarnya yang berasal dari tambang pasir silika membuat solusi EBT menjadi solusi palsu transisi energi,” demikian ungkap XR Bunga Terung dalam rilis pada Minggu 17 Agustus 2025.

Menurut XR Bunga Terung Kaltim, hingga akhir 2024 porsi energi baru terbarukan Indonesia baru mencapai 14 persen, jauh dari target 23 persen.

Sementara itu, deforestasi di Kaltim mencapai tertinggi di Indonesia dari provinsi lainnya, sesuai data Auriga Nusantara.

XR Bunga Terung menilai kondisi tersebut membuat Kaltim tetap bergantung pada energi fosil dan terjebak dalam kerusakan lingkungan, meski simbol transisi energi sudah hadir di ruang publik seperti Taman Para’an dan Masjid Babburahman.

“Delapan puluh tahun merdeka, tetapi Kaltim belum merdeka dari solusi palsu transisi energi,” tegas para aktivis dalam pernyataan resminya.

Dalam aksinya, para aktivis mengajukan empat tuntutan penting. Pertama, hentikan penggunaan energi fosil seperti batubara, pasir silika, dan nikel. Kedua, beralih pada energi berkeadilan yang tidak merusak lingkungan.

Ketiga, melakukan reklamasi lubang tambang terbengkalai. Keempat, menghentikan deforestasi berlebihan dan segera memulihkan ekosistem sungai di Kaltim.

Aksi di momentum Kemerdekaan RI ke-80 tahun ini menjadi simbol bahwa perjuangan kemerdekaan kini bukan lagi melawan penjajahan, melainkan melawan ancaman krisis iklim yang nyata.

Pesan “Merdeka dari Krisis Iklim” dipilih agar masyarakat menyadari bahwa ruang hidup mereka hanya akan benar-benar merdeka jika terbebas dari dampak energi kotor. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button