Kontroversi Penangkapan 9 Petani Sawit PPU di Kawasan IKN

SEKALTIM.CO – Ada dua versi berbeda terkait penangkapan 9 petani kelapa sawit Desa Saloloang Penajam Paser Utara (PPU) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Dua versi berbeda ini yang pertama datang dari aparat kepolisian.

Versi Kepolisian
Aparat kepolisian menjelaskan, penangkapan 9 petani kelapa sawit Saloloang terkait dengan adanya upaya pengancaman terhadap keberlanjutan proyek strategis nasional pembangunan bandara VVIP IKN.

Dalam rilis pada Senin 26 Februari 2024, pihak kepolisian menjelaskan kronologi penangkapan 9 petani sawit tersebut.

Mengutip penjelasan tertulis dari Pihak Polda Kaltim, dijelaskan bahwa pada Sabtu 24 Februari 2024, Ditreskrimum Polda Kalimantan Timur mengungkap adanya kasus pengancaman terhadap pekerja proyek pembangunan Bandara VVIP IKN di PPU yang terjadi pada Jumat 23 Februari 2024.

Saat itu, sekelompok orang diduga mendatangi lokasi proyek dan mengancam serta meminta operator alat berat menghentikan pekerjaan pembangunan bandara IKN. Akibatnya, para operator mundur dan menghentikan operasi di proyek tersebut.

Keesokan harinya, Sabtu 24 Februari 2024, kelompok orang yang sama kembali melakukan pemberhentian proyek dengan membawa senjata tajam jenis mandau. Mereka kembali menghentikan aktivitas proyek bandara IKN di zona 2.

“Adapun maksud kedatangan kelompok orang ke Proyek Pekerjaan Pembangunan Bandara VVIP IKN mengancam dan meminta untuk menghentikan pekerjaan pembangunan bandara VVIP IKN sehingga para operator mundur dan memutuskan untuk memberhentikan operasi dan pekerjaannya,” demikian keterangan tertulis Polda Kaltim, pada 26 Februari 2024.

Atas kejadian itu, pengawas proyek membuat laporan resmi di Polres PPU pada Sabtu 24 Februari 2024. Kemudian penyidik Polres PPU melakukan pemeriksaan laporan dan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka berdasarkan bukti yang cukup.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Artanto menjelaskan bahwa atas permintaan Polres PPU, Polda Kaltim memberikan bantuan personel dan berhasil menangkap 9 orang pelaku pengancaman. Mereka kini tengah diperiksa lebih lanjut di Mapolda Kaltim.

“Adapun pasal yang dikenakan pasal 335 ayat (1) KUHP dan atau pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI no. 12 Tahun 1951,” ungkap Artanto dalam keterangan tertulisnya.

Pasal 335 ayat (1) KUHP dan atau pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI no. 12 Tahun 1951 ini terkait ancaman disertai dengan penggunaan senjata tajam.

Versi Masyarakat
Adapun versi kedua datang dari masyarakat dan laporan aktivis lingkungan hidup. Versi ini menjelaskan bahwa penangkapan sembilan petani sawit di 3 kelurahan di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, diduga merupakan upaya kriminalisasi terhadap petani di kawasan tersebut.

Penangkapan 9 petani sawit terjadi lantaran warga mempertahankan lahan sawit mereka yang berasal dari 3 kelurahan dan akan digunakan untuk pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN).

Kelurahan-kelurahan tersebut adalah Jenebora, Pantai Lango, dan Gersik. Para petani tersebut mengaku telah membeli lahan sawit mereka sejak tahun 1980-an.

Namun, 9 orang dari kelompok tani Saloloang ini kemudian ditangkap polisi dengan cara digerebek saat sedang akan makan malam bersama pada Sabtu 24 Februari 2024.

“Tolong adik saya, dia ditangkap seperti penjahat, ada 7 mobil datang tadi malam menangkap 9 orang yang sedang bakar-bakar ikan mau makan bersama. Cara menangkapnya sangat tidak manusiawi,” ujar Agustina, warga Pantai Lango.

Dikisahkan Agustina, penangkapan bermula ketika Dinas Perkebunan dan Bank Tanah berjanji akan melakukan verifikasi tanam tumbuh sawit di kebun warga yang akan diganti rugi.

Namun keesokan harinya, 9 orang tersebut langsung digrebek dan ditangkap polisi sehari sebelum verifikasi dimulai. Mereka dituduh membawa senjata tajam untuk menghalang-halangi proses verifikasi lahan bandara VVIP IKN.

“Mereka ke kebun mereka sendiri bawa parang untuk menebas rumput. Kenapa tidak ditangkap waktu siang, padahal tidak ada satu pun pegawai dinas dan bank tanah di sana. Kenapa ditangkap saat malam, saat mereka mau makan,” kata Agustina.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim dan Pokja 30 menyebut penangkapan terjadi pada 24 Februari 2024 sekitar pukul 20.19 WIB di Toko Benuo Taka, Kelurahan Pantai Lango.

Anggota Kelompok Tani Saloloang, antara lain:
1. Anton Lewi
2. Kamaruddin
3. Ramli
4. Rommi Rante
5. Piter
6. Sufyanhadi
7. Muhammad Hamka
8. Daut
9. Abdul Sahdan

Menurut Jatam Kaltim, surat penangkapan baru diberikan ke keluarga pada 25 Februari 2024 oleh anggota Polsek Penajam. Sementara Polda Kaltim menyebut penangkapan 9 orang terkait kasus pengancaman pekerja proyek IKN pada 23-24 Februari 2024.

Kronologi kedua belah pihak menunjukkan adanya ketidaksinkronan informasi dan prosedur penangkapan. Hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat PPU.

Apalagi, 9 petani sawit yang ditangkap merupakan warga lokal yang hidup dari bertani. Mereka dituduh membawa senjata tajam dan mengancam proyek strategis nasional.

“Penangkapan dilakukan tanpa menunjukan surat tugas atau surat penangkapan! Belakangan diketahui, dituduh menahan alat berat dan memabawa senjata tajam. Padahal mereka adalah petani/pekebun di kampung halamannya,” ungkap Jatam Kaltim dalam keterangan tertulisnya, Senin 26 Februari 2024.

Oleh karena itu, masyarakat menuntut penjelasan rinci dari pihak berwajib terkait legalitas proses penangkapan dan dugaan kriminalisasi terhadap 9 petani sawit perjuang hak atas tanahnya tersebut.

Tanggapan YLBHI
Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan pihaknya mengecam tindakan aparat Polda Kaltim yang melakukan penangkapan secara tidak manusiawi dan sewenang-wenang terhadap masyarakat Pantai Lango, Penajam Paser, Kalimantan Timur.

“Praktek seperti ini bisa dikategorikan sebagai tindakan sistematis terhadap masyarakat yang mempertahankan hak hidupnya. Tindakan ini cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat,” ujar Edy kepada BBC News Indonesia.

“Polisi untuk kesekian kalinya menggunakan cara-cara seperti ini dalam pengamanan proyek Strategis Nasional.”

Edy mencontohkan beberapa kasus sebelumnya yakni di Rempang, Kepri dan kasus penembakan Masyarakat Adat di Seruyan, Kalimantan Tengah saat melakukan aksi untuk memperjuangkan hak atas tanah adat yang dirampas oleh perusahaan.

“Kapolda Kalteng saat itu dijabat oleh Nanang Avianto yang kini menjabat sebagai Kapolda Kaltim,” sambung Edy Kurniawan dikutip dari BBC News.

Tanggapan Pemkab PPU
Dari keterangan Pj Bupati Penajam Paser Utara, Makmur Marbun, ada 676 warga terdampak dari pembangunan bandara VVIP itu.

Warga ini tersebar di lima kelurahan yakni Kelurahan Gersik, Maridan, Pantai Lango, Jenopora dan Riko.

Dari 676 warga itu ada sekitar 22 orang warga mengatasnamakan Kelompok Tani Saloloang. Mereka tuntut ganti rugi lahan.

“Saya bilang enggak ada dasar hukum ganti rugi lahan, yang bisa diganti hanya tanam tumbuh, kami sudah sosialisasi semua,” ungkap Makmur kepada BBC News Indonesia, Senin 26 Februari 2024.

Makmur menyatakan alasan pihaknya tidak memberi ganti rugi tanah yang dikuasai masyarakat saat ini karena lahan itu berstatus HGU.

Makmur merinci ada lahan seluas 4.162 hektar di sekitar IKN yang saat ini diambil alih oleh negara, karena sebelumnya berstatus HGU. Lahan itu kini dikelola oleh bank tanah sesuai perintah PP 64/2021.

Dari luasan lahan pengelolaan bank tanah itu, ada 290 hektar yang dipakai untuk pembangunan bandara VVIP dan 1.883 hektar yang dipersiapkan untuk relokasi warga yang terdampak itu termasuk 22 warga dari kelompok tani Saloloang.

“Ternyata kemarin di lokasi mereka ini yang 22 orang datang ke lokasi menghalangi pekerjaan di situ bawa sajam. Dengan dasar, mereka belum terima ganti rugi dan tanam tumbuh,” terang dia.

Makmur mengakui pemberian pergantian tanam tumbuh memang belum dilakukan.
Menurutnya, karena hari itu baru diumumkan untuk penerima tahap pertama ada 19 orang, maka dilanjutkan tahap kedua dan seterusnya. (*)

Exit mobile version