Samarinda, Sekaltim.co – Di tengah kompleksitas sistem kesehatan Kalimantan Timur (Kaltim), sosok dr. H. Andi Satya Adi Saputra tampil sebagai pemikir visioner pada jabatannya saat ini, anggota DPRD Kaltim periode 2024-2029.
Putra dari politikus senior dr. Andi Sofyan Hasdam ini membuka tabir persoalan mendasar kesehatan di wilayahnya dengan analisis tajam dan solusi konstruktif.
Sebagai seorang berlatar belakang profesional medis yang melihat ketidakadilan sistemik, Andi Satya berharap tercipta ekosistem kesehatan yang bermartabat di Kaltim.
Krisis tenaga kesehatan di Kaltim, menurut dia, bukan sekadar angka statistik, melainkan potret nyata ketimpangan pelayanan publik.
Andi Satya membeberkan data, bahwa dari total 2.000 dokter yang ada, hanya sepertiga memenuhi standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan rasio 1 dokter per 1.000 penduduk.
Perhitungan sederhana menunjukkan fakta mengejutkan. Dengan populasi mendekati 4 juta jiwa, Kaltim seharusnya memiliki 4.000 dokter. Namun realitasnya hanya tersedia separuh dari kebutuhan ideal.
“Dokter di Kalimantan Timur jumlahnya sekitar 2.000 saja. Sementara menurut WHO rasio dokter yang ideal adalah 1 banding 1.000. Dengan penduduk Kaltim yang ada 4 juta, maka seharusnya kita ada punya berapa? 4.000 dokter. Sementara sekarang baru ada 2.000. Jadi kita masih kekurangan 50% dari yang optimal menurut WHO,” beber Andi belum lama ini.
Lebih mencengangkan lagi, 80% dari dokter tersebut terkonsentrasi di tiga kota besar: Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.
Persoalan fundamental di Kaltim selama ini terabaikan. Dari 2.000 dokter yang ada, 800 di antaranya merupakan dokter spesialis, yang mayoritas memilih berkarya di pusat-pusat perkotaan.
“Celakanya lagi dari jumlah 2.000 ini, 80% nya ini cuma tersebar di tiga kota, yaitu Samarinda, Balikpapan dan Bontang,” kata Andi Satya.
Faktor kesejahteraan menjadi kunci utama mengapa para dokter enggan berkhidmat di daerah terpencil. Akses, infrastruktur, sistem pendukung, hingga kesempatan praktik pribadi menjadi pertimbangan kompleks bagi para tenaga medis.
“Dokter itu kan bagaimana dia bekerja secara dalam kondisi yang optimal. Kita mau bekerja di perifer, tapi dengan catatan bahwa akses ke sana harus bagus. Apabila mereka ingin ketemu dengan keluarganya, apabila harus ada housing yang bagus bagaimana incomenya mereka.
Setelah mereka selesai kerja di rumah sakit, apakah praktek pribadinya masih bisa mendukung? Banyak faktornya, oleh karena itu, apabila itu semua tidak bisa, maka pemerintah harus ambil alih di situ,” papar Andi.
Solusi inovatif pun diajukan. Kaltim harus memiliki harapan baru menciptakan generasi dokter Kalimantan Timur yang optimal . Dengan membebaskan biaya pendidikan, Andi yakin akan melahirkan tenaga kesehatan yang memiliki kedekatan emosional dengan daerahnya.
“Mereka yang berasal dari Kalimantan Timur pasti akan kembali mengabdi,” ujarnya penuh keyakinan. Strategi ini bukan sekadar retorika, melainkan pendekatan sistemik untuk mengatasi krisis kesehatan.
Menurut Andi Satya, pemerintah dituntut untuk memberikan insentif komprehensif. Mulai dari perbaikan fasilitas rumah sakit, penyediaan perumahan layak, hingga dukungan finansial yang memadai. Tanpa intervensi nyata, mimpi pemerataan pelayanan kesehatan akan tetap menjadi utopia.
“Oleh karena itu, ini tugasnya pemerintah, bagaimana bisa menyebarkan, memberikan pelayanan kesehatan lebih tersebar merata. Terutama di daerah-daerah yang perifer. Bagaimana mereka juga bisa mendapatkan layanan kesehatan yang baik,” ungkapnya. (Adv/DPRDKaltim)