Jakarta, SEKALTIM.CO – Meskipun kampanye ASI eksklusif tengah gencar-gencarnya dilakukan semua pihak untuk mencegah kasus stunting agar tidak semakin meningkat. Akan tetapi, persoalan konsumsi kental manis oleh balita dan anak di bawah satu tahun masih menjadi sorotan publik.
Mengapa begitu, karena sangat disayangkan jika konsumsi kental manis masih belum mendapatkan perhatian yang cukup serius. Padahal, diperlukan upaya lebih lanjut dalam menyosialisasikan bahaya konsumsi kental manis bagi para balita.
Ironisnya, meskipun BPOM telah melarang penulisan kata ‘susu’ pada label produk kental manis melalui Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018, belakangan ini label kemasan produk tersebut kembali menyertakan kata ‘susu’.
Menanggapi permasalahan ini, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Bidang Pemberdayaan Kesehatan Perempuan dan Anak Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Rusli Rusmarni pun angkat bicara.
Ia khawatir akan lemahnya pengawasan BPOM terhadap implementasi aturan-aturan yang telah dikeluarkan selama ini. Sebab, hal itu terlihat dari kemasan salah satu merek kental manis yang kembali menggunakan kata ‘susu’.
Berdasarkan peraturan BPOM, lanjut Rusli, seharusnya produk kental manis pada kemasannya ditulis ‘krimer’ bukan ‘susu’. Maka tak heran, apabila ia kembali mempertanyakan pengawasan yang dilakukan BPOM.
“Sekarang kita bisa lihat kembali ada kata ‘susu’ nya. Ini memang BPOM yang lalai, atau publik yang telah kecolongan peraturan BPOM tiba-tiba berubah?” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Kategori Pangan tah,un 2023 menyebutkan bahwa sebuah produk bisa disebut susu kental manis jika memiliki kadar protein tidak kurang dari 6,5 persen.
“Sedangkan ini kandungan proteinnya sangat jauh di bawah itu. Sekarang justru kembali menyertakan kata ‘susu’ pada label produk atau kemasannya,” jelasnya.
Menurutnya, inilah yang membuat masyarakat Indonesia tetap beranggapan produk ini dapat diberikan pada anak. Kenyataannya, bukan satu dua kali konsumsi kental manis justru sangat berisiko terhadap anak.
“Ada kasus Kenzie yang terkena obesitas. Lalu sebelumnya Vania yang kulitnya melepuh dan kena gizi buruk akibat minum kental manis di usia dini, bahkan ada yang meninggal,” katanya.
Rusli menegaskan, lemahnya pengawasan dari pemerintah terhadap label dan konsumsi kental manis bisa berakibat fatal di kemudian hari. Padahal, setiap hari selalu mengampanyekan ASI eksklusif untuk mencegah stunting dan gizi buruk.
“Kampanye hanya menempatkan ibu sebagai pihak yang tidak berjuang memberikan ASI kepada anak. Di sisi lain, pemerintah justru membiarkan produk dengan kandungan gula tinggi dikonsumsi sebagai minuman susu oleh masyarakat dan anak-anak,” terangnya.
Sebelumnya, dokter anak dari RS Mayapada, dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A. turut berkomentar. Ia berpendapat menghilangkan kebiasaan konsumsi kental manis di masyarakat turut diperburuk oleh informasi tanpa filter yang banyak beredar di sosial media.
Ia menyayangkan bahwa saat ini belum ada kolaborasi yang sinergis dalam komunikasi informasi kesehatan kepada masyarakat, terutama dalam pemanfaatan sosial media.
“Di TikTok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum satu bulan. Hal seperti ini bisa saja terjadi di banyak tempat, dan tontonan seperti ini dapat ditiru oleh ibu-ibu lain karena pada dasarnya pengetahuan mereka tentang gizi cukup rendah,” ujar dokter yang juga aktif memberikan edukasi di sosial media ini.
Persoalan kental manis sepertinya memang tidak menjadi isu prioritas pemerintah. Hal itu diakui Penata Kependudukan dan KB dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Maria Gayatri.
“Kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN. Nanti akan disampaikan ke pimpinan,” pungkas Maria.
Memerangi Stunting
Guna memerangi stunting, pemerintah melalui BKKBN sepakat mengampanyekan pemberian ASI eksklusif oleh ibu efektif mencegah stunting. Karena itu, pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo memerintahkan pada BKKBN mengoordinasikan pelaksanaan program penurunan stunting di Indonesia.
Berbagai program dilaksanakan, mulai dari pembinaan kader, pembentukan tim pendamping keluarga, konselor ASI, hingga penyuluh keluarga berencana. Semuanya itu bermuara pada satu tujuan, mendorong pemberian ASI eksklusif oleh ibu.
“Ujung-ujungnya, yang salah tetap ibu, bahwa ibu kurang berusaha memberikan ASI untuk anak, bahwa ibu males kasih ASI untuk anak. Jadi bebannya tetap ada di masyarakat,” tegas Yuli Supriati, ketua tim Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI).
Lebih lanjut, Yuli juga mengkritik kampanye-kampanye menurunkan persoalan stunting dan pemberian ASI eksklusif tidak dengan melihat akar masalahnya di masyarakat.
“Tidak sedikit ibu juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka juga tergolong ekonomi bawah. Nah. kelompok ini, karena harus meninggalkan anak saat bekerja, ASI tidak lagi cukup karena sudah kelelahan. Akhirnya larinya ke kental manis karena harganya lebih ekonomis. Sementara, fokus perhatian pemerintah malah memerangi susu formula. Salah sasaran,” tuturnya.
Sebagai aktivis kesehatan yang banyak bergerilya di lapangan, Yuli kerap berhadapan langsung dengan masyarakat. Dari aktivitasnya tersebut, ia memaparkan selain minimnya edukasi, situasi ekonomi keluarga memiliki andil besar terhadap pemberian kental manis untuk anak.
“Tapi sangat disayangkan, dalam setiap pembahasan stunting, yang lebih banyak ditonjolkan adalah pemberian susu formula pada anak. Padahal, jika dilihat dari fungsinya, susu formula jelas peruntukannya memang untuk minuman anak atau keluarga,” ulasnya.
“Sementara kental manis, produk yang peruntukannya bukan untuk minuman, tapi terjadi pembiaran saat produk ini dikonsumsi sebagai minuman susu oleh anak dan bayi,” sambungnya. (*)