Ratusan Kasus Kekerasan Seksual di Samarinda Selama Lima Tahun Terakhir Didominasi Perempuan

SEKALTIM.CO – Kasus kekerasan seksual di Kota Samarinda terus menjadi masalah serius yang harus dicari solusi untuk menanganinya. Hal itu terbukti dari data terbaru yang dirilis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Samarinda.
Jumlah kasus kekerasan seksual mencapai ratusan korban selama lima tahun terakhir. Fakta yang mencolok, dari tahun 2020 hingga 2024 ini, mayoritas korban dari kekerasan seksual merupakan perempuan.
Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual menunjukkan tren fluktuatif. Berikut adalah data jumlah kasus dan korban kekerasan seksual:
– 2020: 291 kasus, korban 299 orang (229 perempuan, 70 laki-laki).
– 2021: 240 kasus, korban 258 orang (223 perempuan, 35 laki-laki).
– 2022: 458 kasus, korban 466 orang (399 perempuan, 67 laki-laki).
– 2023: 494 kasus, korban 540 orang (444 perempuan, 96 laki-laki).
– 2024: 245 kasus, korban 278 orang (229 perempuan, 49 laki-laki).
Pada tahun 2023, jumlah kasus mencapai puncaknya dengan 494 laporan, sedangkan penurunan signifikan terjadi pada tahun 2024 dengan 245 kasus. Meski menurun, jumlah korban perempuan tetap mendominasi setiap tahunnya.
Anak-Anak dan Perempuan Dewasa Menjadi Korban Utama
Dilihat dalam laporan yang dirincikan oleh DP3A Kota Samarinda, korban terbagi menjadi dua kategori, yakni anak-anak dan perempuan dewasa. Kasus kekerasan terhadap anak juga memprihatinkan, dengan angka tertinggi pada tahun 2023 sebanyak 189 kasus. Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan dewasa mencapai puncaknya pada tahun yang sama, dengan 309 kasus.

Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, menyatakan bahwa salah satu penyebab tingginya angka kekerasan seksual adalah kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat.
“Banyak masyarakat yang enggan melapor karena merasa ini adalah urusan pribadi. Padahal, tindakan pencegahan sangat bergantung pada dukungan tetangga dan lingkungan sekitar,” ungkapnya.
Menurutnya, salah satu pemicu utamanya adalah masalah ekonomi.
“Kondisi ekonomi yang sulit sering kali menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual, terutama dalam lingkungan rumah tangga. Selain itu, ketidakpedulian sosial juga memperburuk keadaan,” tambahnya.
Ia menyoroti perlunya peran aktif masyarakat untuk melaporkan setiap indikasi kekerasan seksual.
“Tetangga sering kali memilih tidak ikut campur dengan alasan ini adalah urusan pribadi. Padahal, sikap ini justru memperparah kondisi korban,” tegasnya.
Untuk menekan angka kekerasan seksual, pemerintah dan DPRD Samarinda mendorong edukasi masyarakat hingga tingkat RT. Sosialisasi mengenai kategori kekerasan seksual, cara melapor, dan dukungan kepada korban terus digencarkan.
“Setiap RT harus berperan aktif memberikan informasi kepada warganya. Selain itu, masyarakat perlu memahami bahwa melaporkan tindakan kekerasan adalah langkah penting untuk melindungi korban dan mencegah kasus serupa terjadi lagi,” tuturnya.
Dengan adanya penurunan kasus pada tahun 2024, pemerintah optimis bahwa langkah pencegahan mulai menunjukkan hasil. Namun, Novan mengingatkan bahwa perjuangan melawan kekerasan seksual masih panjang.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berkolaborasi dan mengutamakan kepedulian terhadap sesama.
“Kita semua harus menjadi agen perubahan. Jangan biarkan korban kekerasan seksual merasa sendirian. Melaporkan satu kasus saja bisa menyelamatkan banyak nyawa,” tutupnya.
Sementara itu, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak, baik melalui edukasi, peningkatan layanan pengaduan, maupun penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku.