Sekaltim.co – Koalisi untuk Kebebasan Akademik (KIKA) meluncurkan laporan refleksi tahunan yang mengungkap sejumlah tantangan serius dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia sepanjang 2024, Selasa 31 Desember 2024.
Dokumen bertajuk “Refleksi Kebebasan Akademik 2024 dan Outlook 2025” ini mengungkap berbagai persoalan mulai dari politisasi kampus hingga maraknya mafia pemberian gelar akademik.
Di tengah dinamika politik nasional menjelang dan pasca Pemilu 2024, KIKA mencatat setidaknya 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik yang terdokumentasi dan mendapat pendampingan.
Kasus-kasus ini melibatkan berbagai pihak mulai dari dosen, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil yang menjadi korban pembungkaman suara kritis.
“Tahun 2024 menjadi tahun yang cukup mengkhawatirkan bagi kebebasan akademik di Indonesia,” ungkap juru bicara KIKA dalam laporan tersebut. “Kami melihat ada pola sistematis dalam upaya membungkam suara kritis di lingkungan kampus.”
Salah satu temuan mengejutkan adalah peristiwa politisasi kampus menjelang Pilpres 2024. KIKA mencatat sejumlah pimpinan perguruan tinggi terlibat dalam video apresiasi terhadap rezim berkuasa.
Setidaknya empat elit kampus tercatat membuat pernyataan dukungan, termasuk rektor dari Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan Universitas Diponegoro.
KIKA mengidentifikasi lima bentuk utama pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2024.
Pertama, serangan terhadap gerakan mahasiswa yang mencakup represi fisik, pembredelan diskusi, hingga kriminalisasi aktivis kampus.
Kedua, tekanan terhadap insan akademik yang mengadvokasi kebijakan publik.
Ketiga, intimidasi terhadap akademisi yang mengkritisi isu sumber daya alam.
Keempat, masalah integritas akademik terkait penganugerahan gelar guru besar.
Kelima, kasus kekerasan seksual di kampus yang belum ditangani dengan baik.
Dalam konteks integritas akademik, KIKA memperkirakan lebih dari 100 gelar guru besar berpotensi dibatalkan akibat praktik mafia kepangkatan untuk periode 2022-2023.
“Ini adalah skandal besar yang membutuhkan keberanian politik dari Kementerian untuk membereskannya,” tegas laporan tersebut.
Memasuki 2025, KIKA menyoroti tantangan baru dengan terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Lembaga ini mengkhawatirkan potensi menguatnya nuansa militerisme dalam kebijakan pendidikan tinggi.
Ditambah dengan rencana restrukturisasi Kemendikbudristek menjadi tiga kementerian terpisah, situasi ini diprediksi akan membawa dinamika baru dalam tata kelola pendidikan tinggi.
Mendikti-Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro sebelumnya menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab akademik.
“Kami berikan pada mereka keleluasaan dan kebebasan secara akademik. Tapi saya minta pada mereka, Bapak-Ibu Rektor tolong jaga dengan baik, karena kebebasan itu harus dibarengi dengan akuntabilitas tanggung jawab pada publik,” ujarnya dalam sebuah pernyataan pada Oktober 2024 lalu.
Menanggapi berbagai situasi tersebut, KIKA mengeluarkan lima desakan utama.
1. KIKA mendesak Mendiktisaintek bertanggungjawab atas kekacauan masalah kegurubesaran dan mafia jabatan fungsional, dengan dorongan untuk tak ragu dan tegas memberikan sanksi pemberhentian guru besar. Ini termasuk pejabat publik yang telah menyiasati bersama elit kampus untuk menjadi guru besar, terutama dengan syarat manipulatifnya.
2. KIKA mendesak Mendiktisaintek untuk terbuka menegaskan mindset atau orientasi pendidikan tinggi masa depan seperti apa, terutama bagaimana
dengan upaya mengaitkannya dengan strategi mengarusutamakan jaminan kebebasan akademik dalam kebijakan-kebijakannya sebagai prasyarat untuk
mengembangkan iklim keilmuan yang lebih bertanggungjawab, kuat dan melahirkan ekosistem pengetahuan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan lisan, Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang dikutip sebelumnya.
(3) KIKA perlu mengingatkan kepada elit pengelola kampus, Rektorat dan jajarannya, untuk tak merendahkan muruah integritas akademik, dengan tidak menjadikan dirinya sebagai pelumas nafsu kekuasaan, transaksional memperdagangkan gelar akademik, serta lugas membentengi kebebasan akademik serta berani mengambil keputusan atas hal yang merusak muruah akademik.
4. KIKA mendesak Mendiktisaintek dan juga Pimpinan perguruan tinggi tegas melaksanakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (TPKS) dan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, dengan mendorong pihak pemerintah maupun kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual, termasuk KIKA memperingatkan keras bagi kampus agar serius mengimplementasikan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
5. KIKA mendorong dan terus bisa menumbuhkembangkan resiliensi insan kampus dan masyarakat sipil dalam membentengi kebebasan akademik yang semakin tertekan akibat serangan, ancaman, dan intimidasi oleh otoritas, baik internal perguruan tinggi maupun otoritas negara yang mengancam suara kritis mahasiswa, kelompok akademisi yang kritis terhadap kebijakan publik yang tidak tepat dan problem SDA, serta masalah serius integritas akademik di
Indonesia.
Laporan ini ditutup dengan seruan untuk mengembalikan marwah perguruan tinggi sebagai institusi ilmiah yang independen dan berintegritas. KIKA menekankan bahwa tanpa kebebasan akademik yang terjamin, mustahil mengharapkan lahirnya inovasi dan pemikiran kritis yang dibutuhkan untuk memajukan bangsa.
“Tahun 2025 akan menjadi tahun yang menentukan bagi masa depan kebebasan akademik di Indonesia,” pungkas laporan tersebut. “Diperlukan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan kampus tetap menjadi ruang bebas bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis.” (*)