Jakarta, Sekaltim.co – Presiden Prabowo Subianto menyoroti kesenjangan dalam penjatuhan vonis terhadap koruptor di Indonesia saat memberikan arahan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2025-2029, Senin 30 Desember 2024.
Presiden Prabowo secara tegas mengkritisi ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor, khususnya dalam kasus-kasus yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
“Rakyat pun mengerti. Rakyat di pinggir jalan ngerti – merampok triliunan, ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti jangan-jangan dipenjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV,” ungkap Presiden Prabowo dengan nada kritis, menyoroti fasilitas yang kemungkinan bisa dinikmati para koruptor di penjara dalam pidatonya yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Dalam pidato pula, Presiden memberikan instruksi langsung kepada Jaksa Agung untuk mengambil tindakan tegas. “Tolong Jaksa Agung, naik banding. Naik banding vonisnya, ya 50 tahun begitu kira-kira,” tegas Presiden.
Presiden membandingkan disparitas hukuman antara pelaku kejahatan kecil dengan koruptor kelas kakap. Dia menyoroti ketimpangan dalam sistem peradilan yang dapat melukai rasa keadilan masyarakat. “Ada yang curi ayam dihukum berat, dipukulin,” ujarnya.
Kritik Presiden terhadap ringannya vonis koruptor muncul dalam konteks yang lebih luas tentang reformasi sistem dan pemberantasan korupsi.
Menurut Presiden, Indonesia membutuhkan pembenahan menyeluruh dalam penegakan hukum, terutama dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar. Presiden menyototi sistem peradilan yang seringkali dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
“Ini bisa menyakiti rasa keadilan,” tegas Presiden, merujuk pada kesenjangan dalam penjatuhan hukuman.
Presiden juga menekankan pentingnya transformasi digital dan e-government dalam upaya pencegahan korupsi. “Dengan program digitalisasi, dengan e-government, dengan e-catalog, dengan govtech, kemungkinan untuk penggelembungan-penggelembungan yang gila-gilaan sudah tidak akan, sudah sangat sulit,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Presiden menyoroti berbagai bentuk kebocoran anggaran negara yang harus diberantas, termasuk penyelundupan, illegal mining, illegal logging, dan judi online.
Meski tidak merinci angka spesifik dalam kesempatan tersebut, Presiden menegaskan bahwa laporan-laporan terkait kebocoran tersebut telah dipaparkan dalam sidang kabinet.
“Budaya mark up, budaya penggelembungan proyek dan anggaran itu adalah korupsi,” tegasnya. “Saya ulangi, penggelembungan mark up barang atau proyek itu adalah merampok uang rakyat.”
Presiden memberikan contoh konkret: “Kalau bikin proyek yang nilainya 100 juta, ya Rp100 juta. Bikin rumah Rp100 juta, ya Rp100 juta. Jangan Rp100 juta dibilang Rp150 juta.”
Presiden menekankan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk yudikatif, legislatif, dan seluruh aparatur pemerintahan. “Rakyat kita itu bukan rakyat yang bisa dibohongi terus,” tegasnya, menunjukkan bahwa era keterbukaan informasi telah meningkatkan kesadaran publik terhadap isu korupsi.
Untuk memperkuat penegakan hukum, Presiden berjanji akan mencari masukan dari ahli hukum mengenai wewenang yang bisa diberikan kepada aparat penegak hukum.
Sebagai penutup, Presiden menegaskan optimismenya bahwa dengan sistem digital dan pengawasan yang ketat, praktik-praktik korupsi akan semakin sulit dilakukan.
“Di semua K/L (Kementerian/Lembaga) kita akan melihat nanti hasilnya,” ujarnya, menekankan bahwa transformasi digital akan menjadi kunci dalam upaya pencegahan korupsi. (*)