
Jakarta, Sekaltim.co — Kasus dugaan korupsi proyek fiktif di tubuh PT Telkom Indonesia (Persero) disebut-sebut menyeret satu anggota DPRD Kaltim berinisial KMR.
Dalam kasus korupsi itu, KMR dinyatakan sebagai pengendali dua perusahaan, yaitu PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa.
Dua perusahaan yang dikendalikannya menjadi penerima proyek senilai Rp13,2 miliar
Kejaksaan Tinggi (Kejati) DK Jakarta telah menetapkan KMR bersama delapan orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus itu.
Kasus ini merugikan negara hingga Rp431 miliar ini melibatkan sejumlah pejabat Telkom dan pengusaha swasta.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta, Syarief Sulaiman, mengungkapkan bahwa kerugian negara dari proyek fiktif tersebut mencapai angka fantastis.
“Terhadap penyimpangan ini, kerugian sementara atau nilai dari seluruh pengadaan ini adalah sebesar Rp431 miliar,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Kejati Jakarta, Rabu 7 Mei 2025 lalu, dikutip dari Kompas.
Sembilan tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini berasal dari berbagai latar belakang.
Tiga di antaranya merupakan pejabat internal Telkom dan anak perusahaannya.
Mereka adalah AHMP (GM Enterprise Segmen Financial Management Service PT Telkom 2017-2020), HM (Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015-2017), dan AH (Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara 2016-2018).
Tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.
1. NH (Direktur Utama PT Ata Energi)
2. DT (Direktur Utama PT International Vista Quanta)
3. KMR (pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa)
4. AIM (Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara)
5. DP (Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri),
6. RI (Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya).
“Dari para tersangka ini, delapan orang kami tahan di Rutan Cipinang, Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, dan Rutan Salemba Cabang Jakarta Selatan. Sedangkan untuk satu orang tersangka dengan inisial DP, kami lakukan tahanan kota karena alasan kesehatan,” tambah Syarief.
Modus operandi dalam kasus ini terbilang sistematis.
Kasus ini awalnya adalah kerja sama bisnis antara Telkom dan sembilan perusahaan swasta sepanjang 2016 hingga 2018.
Lalu Telkom menunjuk empat anak usaha—PT Infomedia, PT Telkominfra, PT Pins, dan PT Graha Sarana Duta—untuk menyalurkan proyek tersebut.
Keempat anak usaha ini kemudian bekerja sama dengan sejumlah vendor yang ternyata telah diatur sejak awal oleh para pemilik perusahaan.
Dari pengaturan ini, dua perusahaan, yaitu PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa, menerima aliran dana proyek.
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa seluruh pengadaan tersebut bersifat fiktif.
Proyek-proyek yang semula terlihat sah ternyata hanya dijadikan kendaraan untuk menguras dana Telkom.
Termasuk pengadaan smart mobile energy storage, smart café, hingga perangkat CT scan yang tak pernah ada wujudnya.
Asisten Intelijen Kejati DKI, Asep Sontani, kepada Detik, menegaskan “Telah ditetapkan dan dilakukan penahanan terhadap sembilan tersangka, baik itu dari PT Telkom maupun dari pihak rekanan.”
Seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 junto Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)