NUSANTARA

Konservasi Lahan Basah Dapat Mitigasi 770 MtCO2e per Tahun di Asia Tenggara

Sekaltim.co – Sebuah penelitian gabungan terbaru mengungkap peran vital ekosistem gambut dan mangrove dalam memenuhi target pengurangan emisi negara-negara Asia Tenggara. Studi yang diterbitkan di Jurnal Nature Communications ini menemukan bahwa lebih dari setengah emisi karbon dari penggunaan lahan di kawasan tersebut dapat dimitigasi melalui upaya konservasi dan restorasi kedua ekosistem ini.

Sigit Sasmito, peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER), James Cook University, Australia, menjelaskan bahwa pelestarian dan restorasi ekosistem gambut dan mangrove di Asia Tenggara berpotensi memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun. Angka ini hampir dua kali lipat dari emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023, meskipun kedua ekosistem tersebut hanya menempati 5,4% dari luas daratan Asia Tenggara.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyu Catur Adinugroho, mengungkapkan bahwa Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90% emisi di Asia Tenggara. Indonesia, dengan 3,4 juta hektar hutan mangrove dan 13,4 juta hektar lahan gambut, memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi.

Haruni Krisnawati, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, menjelaskan karakteristik unik kedua ekosistem tersebut. “Kondisi tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi,” ujarnya.

Lebih dari 90% cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada vegetasi di atasnya. Hal ini menjadikan karbon yang tersimpan bersifat “irrecoverable” atau rentan terhadap pelepasan akibat aktivitas manusia dan sulit dipulihkan jika hilang.

Nisa Novita, Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN, menyatakan bahwa pelestarian dan restorasi lahan basah merupakan solusi iklim yang hemat biaya. “Potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah dapat melampaui target pengurangan emisi Indonesia untuk tahun 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” jelasnya.

YKAN telah melakukan pemantauan emisi gas rumah kaca jangka panjang dan melaporkan bahwa pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon bersih hingga 34%. Organisasi ini juga menemukan bahwa lahan gambut alami di Muara Siran, Kalimantan Timur, menghasilkan emisi metana signifikan dengan emisi CO2 yang rendah.

Penelitian ini melibatkan berbagai institusi terkemuka, termasuk Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Institut Pertanian Bogor, BRIN, Kementerian Kehutanan, dan YKAN. Hasil lengkap penelitian dapat diakses melalui laman Nature Communications.

Temuan ini semakin menegaskan pentingnya peran lahan basah yang juga dikenal sebagai “ginjal” bumi. Selain berperan dalam mitigasi perubahan iklim, ekosistem ini juga berfungsi memurnikan air, melindungi dari erosi, dan menjadi habitat beragam satwa endemik.

Indonesia, sebagai negara dengan tipe ekosistem lahan basah yang lengkap, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya konservasi dan restorasi. Meski demikian, belum ada data terverifikasi mengenai luasan lahan yang terdegradasi dan memerlukan restorasi segera. (*)

Simak berita Sekaltim.co lainnya di tautan Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button