Kukar, Sekaltim.co – Ratusan petani keramba kerang tudai di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), menuntut pertanggungjawaban PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) atas dugaan pencemaran lingkungan yang menyebabkan kerugian hingga miliaran rupiah.
Kasus dugaan pencemaran lingkungan ini bermula dari jebolnya penampungan limbah rig pengeboran minyak bumi di daerah Salo Pareppa, Desa Tanjung Limau.
Ketua Pengurus Daerah Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI) Kecamatan Muara Badak, Iskandar, pada Jumat 3 Januari 2025, mengungkapkan bahwa pencemaran tersebut telah menyebabkan kematian massal kerang tudai di sepanjang pesisir pantai, mulai dari Badak Delapan, Toko Lima, Salo Api, Salo Sembala hingga Salo Tireng.
“Di Desa Muara Badak Ilir ada 180 keluarga dan di empat desa lebih dari 300 kepala keluarga menderita kerugian ditaksir 10 miliar rupiah. Setiap kepala keluarga memiliki tiga hingga 30 petak keramba,” jelas Iskandar.
Dalam satu petak keramba, minimal diisi 2 ton bibit kerang tudai yang bisa menghasilkan 4 ton saat panen dengan harga jual Rp15.000 per kilogram.
Menanggapi hal tersebut, PT PHSS melalui Manager Comrel dan CID Pertamina Hulu Indonesia, Donny Indrawan, menyatakan bahwa perusahaan telah merespons dengan cepat dengan menurunkan tim untuk melakukan peninjauan lapangan dan pengambilan sampel.
“Pembukaan balong merupakan bagian dari kegiatan operasi yang telah dikaji secara saksama dengan memperhatikan aspek lingkungan dan dilakukan sesuai prosedur operasional standar,” ujar Donny, Jumat 3 Januari 2025.
Namun, masyarakat menemukan bukti berbeda. Iskandar menyebutkan bahwa setelah kunjungan warga, pihak Pertamina terlihat tergesa-gesa menutup jebolan tempat penampungan dan melakukan upaya minimalisasi pencemaran dengan menaburkan kaporit.
Camat Muara Badak, Arpan, menyatakan pihaknya bertindak sebagai fasilitator yang mempertemukan perwakilan petani dan PT PHSS.
“Dari hasil rapat selanjutnya akan dibawa ke kabupaten dan pemerintah kabupaten yang akan memfasilitasi rapat lanjutan pada Senin, 6 Januari,” jelasnya.
PT PHSS, yang merupakan bagian dari Subholding Upstream Pertamina Regional 3, menegaskan komitmennya dalam menjalankan pengelolaan operasi dan bisnis hulu migas sesuai prinsip ESG (Environment, Social, Governance).
Perusahaan berjanji akan terus berkoordinasi dengan pihak berwenang dan para pemangku kepentingan untuk menangani permasalahan ini sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertemuan lanjutan yang dijadwalkan pada 6 Januari 2025 mendatang diharapkan dapat menghasilkan solusi yang adil bagi semua pihak, terutama bagi para petani keramba yang telah mengalami kerugian signifikan. (*)